4. Dress Merah

1.5K 80 7
                                    

Jam menunjukkan pukul 00.00 malam. Anisa yakin keluarga Jordan sudah pulang dan keluarganya juga sudah tidur. Anisa mengusap air matanya yang kembali menetes ketika dia menginjakkan kakinya di teras rumahnya. Anisa hendak mengetuk pintu rumahnya, tapi sebelum Anisa melakukan itu pintu rumahnya sudah terbuka sendiri. Anisa menundukkan kepalanya sambil melihat ujung sepatunya, dia tahu dia akan di marahi oleh kedua orang tuanya karena kepulangannya yang terlalu malam.

"Yaampun Sa, kenapa jam segini baru pulang? Bikin kakak khawatir aja." Amira langsung memeluk adiknya dan menghela nafas lega ketika dia melihat adiknya pulang dengan selamat. Dia sampai tidak bisa tidur karena adiknya yang pergi tiba-tiba ketika acara perkenalan keluarga antara keluarganya dan keluarga tunangannya. Amira akan sangat marah pada dirinya sendiri kalau sampai adiknya kenapa-napa.

"Mama sama papa?" Tanya Anisa sambil celingukan kedalam rumahnya. Amira tersenyum memperlihatkan kedua lesung pipi indah miliknya.

"Udah tidur. Mereka pikir kamu tidur di rumahnya Jihan." Jawab Amira sambil merangkul pundak adiknya masuk kedalam rumah. Anisa menghela nafas lega, kemudian dia duduk di sofa ruang tamunya.

"Tadi papa udah nelpon orang tua Jihan, tapi tidak mereka angkat." Tambah Amira yang langsung membuat bola mata Anisa hampir keluar.

"Terus papa bisa percaya kalau aku tidur di rumah Jihan itu bagaimana ceritanya?" Tanya Anisa ketakutan. Amira tertawa ketika melihat wajah panik adiknya.

"Apa kamu lupa kalau kakak kamu ini pintar? Aku bilang ke papa kalau kamu tadi sudah meminta ijin kepadaku untuk tidur di rumah Jihan karena kamu rasa ini sudah terlalu malam untuk pulang ke rumah." Jawab Amira yang di balas helaan nafas lega oleh Anisa. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi kepada dirinya kalau sampai kakaknya itu tidak menutupi kesalahannya. Dia sengaja mematikan handphone miliknya Karena dia tidak mau berbicara kepada siapapun.

"Oh ya, kok kakak lihat mata kamu merah, kamu abis nangis?" Tanya Amira sambil mengamati wajah adiknya dari jarak dekat. Anisa segera menegakkan badannya, dia langsung menatap lurus kedepan. Jujur saja dia gugup ketika mendengar pertanyaan kakaknya. Dia harus menjawab apa?

"Sa, kamu tadi nangis? Kenapa?" Tanya Amira sambil memegang kedua pundak adiknya hingga menatapnya. Anisa menggelengkan kepalanya pelan sambil menutup matanya, dia gugup.

"Itu, anu..." Anisa bukan kakaknya yang pandai berbohong. Dia bingung cara meyakinkan kakaknya kalau dia itu tidak menangis. Tapi hidung dan matanya tidak bisa diajak berbohong.

"Anu kenapa?" Desak Amira tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah adiknya.

"Aku tadi ke butik buat nganter handphone milik Jihan, tapi butik udah tutup. Waktu aku ke rumah Jihan, aku malah di tawari makan oleh mamanya Jihan, jadi aku makan di rumah Jihan sekalian ngobrol sama Jihan dan mamanya. Eh tiba-tiba udah jam 23.25, aku takut di marahi mama sama papa gara-gara pulang kemaleman. Dan benarkan, aku sampai rumah jam 00.00. Andai kakak gak ngomong ke mama sama papa kalau aku tidur di rumah Jihan, pasti sekarang aku sudah di sidang mereka gara-gara pulang kemalaman." Terang Anisa kepada kakaknya. Amira tersenyum tipis, dia tahu adiknya tidak pandai berbohong seperti dirinya. Pasti tadi adiknya ketakutan banget karena pulang kemalaman. Adiknya pasti takut di marahi kedua orang tuanya yang posesif dan tidak memperbolehkan kedua putri mereka pergi dan pulang larut malam.

Anisa meringis pelan, dia meremas baju yang dia kenakan dengan perasaan gugup. Dia berharap semoga kakaknya percaya dengan ucapannya, karena berbohong itu bukan keahliannya. "Maafkan aku kak, kali ini aku terpaksa berbohong kepadamu. Aku tidak mungkin mengatakan kalau aku pergi dari rumah karena aku tidak mau bertemu dengan calon tunanganmu karena aku juga mencintai laki-laki itu. Maafkan adikmu yang tidak tahu diri ini, maafkan adikmu yang mencintai calon tunanganmu." Batin Anisa dengan kepala menunduk.

Istri PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang