"Sa, kamu lihat kakak kamu, kalau sampai dia kabur buat ketemu sama Jordan bilang ke mama. Dia itu lagi masa pingitan." Seru Rahma sambil berjalan menghampiri Anisa yang tengah mengobrol dengan Papanya. Bima yang melihat kirisauan di diri anak keduanya menggelengkan kepalanya kearah istrinya.
"Papa sedang mau ngobrol dulu sama Anisa, suruh saja yang lain buat melihat Amira di kamar. " Di rumah ini sangat ramai. Ada banyak orang yang sedang membantu persiapan acara pernikahan Amira. Tetapi istrinya terus saja mengganggu Anisa yang sedang gelisah di sampingnya.
"Aduh Pa, semua orang itu sedang sibuk. Papa itu bukannya ikut bantuin tapi malah kayak gini." Rahma meninggalkan Anisa dan juga Suaminya yang tengah mengobrol di samping rumah.
Malam ini udara kota Jakarta sangatlah dingin. Meski Anisa tahu bahwa udara Jakarta tidak sedingin Bandung, tapi tetap saja udara malam ini membuatnya kedinginan. Anisa diam di samping Papanya. Dia sengaja menghampiri papanya agar dia bisa menghindar dari keramaian di dalam rumah.
Anisa sendiri sudah bosan di beri pertanyaan kapan menikah dari para tetangganya. Anak perempuan setelah lulus SMA di komplek rumahnya jika tidak kunjung menerima lamaran ataupun menikah maka akan menjadi pembicaraan para ibu-ibu gosip.
"Aku bosen di beri pertanyaan kapan menikah sama mereka, Pa." Ucap Anisa yang di beri senyuman oleh Bima. Bima tidak pernah bertanya tentang pacar anaknya ataupun kapan anaknya menikah. Karena menikah bukan tentang siapa yang lebih cepat atau lambat. Pernikahan juga bukan sebuah perlombaan, melainkan sebuah kesiapan antara kedua belah pihak untuk menjalin sebuah komitmen yang di dalamnya terdapat banyak masalah.
"Aku malu." Anisa menangis sesenggukan di pelukan papanya. Tidak seharusnya dia bersedih ketika kakaknya akan menikah sebentar lagi, tapi dia tidak bisa untuk tidak menangis di depan Papanya.
"Sejak dulu Papa selalu sedih ketika kamu dan juga Amira meminta untuk di rayakan ultah tahun. Bukan karena Papa tidak mempunyai uang untuk membelikan kamu kue, hanya saja Papa tidak ingin kamu dan juga Amira cepat besar. Hal terberat di hidup Papa adalah melepas kalian. Papa takut jika lelaki yang akan mendampingi kalian itu tidak bisa membahagiakan kalian. Papa takut kedua anak Papa mendapat pendamping yang salah." Bima mengusap rambut Anisa sambil menatap rembulan yang terlihat begitu terang. Dia begitu sangat sedih ketika putri pertamanya meminta ijin kepadanya untuk di beri restu menikah dengan seorang lelaki yang menurut putrinya itu baik.
Bima menyetujui permintaan Amira karena memang umur Amira yang sudah 25. Anaknya itu memang sudah waktunya menikah.
"Kemarin Papa baru sadar bahwa kalian sudah dewasa. Karena sebentar lagi kalian berdua akan meninggalkan rumah ini dan pergi ke rumah suami kalian." Bima melanjutkan perkataannya sambil mengusap air mata yang menetes di kedua pipinya. Bima sadar, dia lemah jika tentang anaknya.
"Beberapa hari lalu kakak kamu meminta ijin kepada Papa untuk menikah dengan Jordan. Dan waktu itu juga Papa berpikir bahwa Papa kehilangan satu anak Papa yang menjadi penyemangat Papa. Sekarang kamu mengatakan kepada Papa kamu tidak tahan dengan pertanyaan mereka yang menanyakan kepada kamu kapan kamu menikah. Tidak usah kamu dengarkan mereka. Papa tidak mau buru-buru melepaskan putri kedua Papa. " Ucap Bima. Anisa yang mendengar ucapan papanya segera memeluk badan papanya.
"Tidak usah terburu-buru ingin memiliki keluarga kecil, karena bagi Papa kamu masih putri kecilnya Papa dan Mama." Ucap Bima yang di balas Anisa dengan tawa. Menurutnya tidak ada yang bisa mengerti dirinya kecuali papanya.
Sekarang Anisa mengerti kenapa seorang Papa di sebut sebagai Hero untuk putrinya. Karena seorang Papa bisa sangat mengerti perasaan putrinya lebih dari siapapun.
***
19 Juli 2021
Anisa menguap lebar sambil duduk di ruang tunggu bandara. Mamanya sudah mengoceh sejak pagi untuk menjemput tantenya. Jadi jam 06.35 dia sudah meluncur ke bandara. 2 jam perjalanan akhirnya dia sampai ke Badara Soekarno-Hatta. Tapi tantenya belum juga kelihatan.
Aslinya Anisa sangat malas ketika di suruh menjemput tantenya yang sangat cerewet. Tapi dia tidak bisa menolak dari permintaan ratu di rumahnya, siapa lagi kalau bukan mamanya.
"Anisa sayang...." Teriak seorang perempuan Paruh baya sambil memeluknya. Anisa terkejut, banyak orang berlalu lalang, tapi dia tidak tahu bahwa di depannya itu tantenya.
Dengan celana jeans putih yang di padukan dengan baju hitam serta jaket senada dengan bajunya tantenya terlihat seperti wanita muda. Tidak lupa topi bundar dan juga kaca mata nyentriknya. Rasanya dia benar-benar tidak bisa berkata-kata lagi mengenai penampilan Tantenya yang lebih modis dari pada dirinya.
'Pantas saja Abang jomblo terus sampai sekarang. Pasti pacar-pacar Abang minder lihat Tante yang begini.' Batin Anisa yang sekarang tengah mencium punggung tangan Tantenya.
"Tante awet muda banget." Puji Anisa sambil mengambil alih koper bawaan tantenya.
Sinta, Tante Anisa itu tertawa dan mencolek lengan Anisa. "Tentu saja, Abang kamu itu selalu saja membelikan Tante skincare yang harganya mahal." Jawab Sinta dengan sombong. Anisa tahu bahwa abangnya pasti tidak benar-benar membelikan tantenya skincare, hanya saja tantenya yang memaksa abangnya untuk membelikan skincare untuknya.
"Dasar gak sadar umur," lirih Anisa sambil melirik tantenya.
"Kamu jemput tante pakai mobilkan? Tante gak mau pakai taxi, nunggunya lama." Tanya Sinta yang membuat Anisa kesal sendiri. Ya iyalah dia jemput tantenya pakai mobil, masa iya odong-odong.
"Tante tunggu disini saja biar aku ambil mobilnya di parkiran." Ucap Anisa sambil tersenyum kepada tantenya. Sinta mengangguk. Anisa berharap suatu saat dia tidak dapat mertua ribet seperti tantenya.
Tit! Tit!
Anisa sengaja mengklakson Tantenya yang sedang mengobrol dengan ibu-ibu.
"Ah, kamu Sa. Ngagetin aja. Sekarang bantu Tante masukin koper Tante kedalam bagasi mobil." Kali ini Anisa tidak seperti keponakannya melainkan seperti pembantu tantenya.
Anisa menghela nafas panjang . "Sabar Sa, orang sabar jodohnya ganteng." Ucap Anisa kepada dirinya sendiri.
Berbeda dengan Anisa yang seperti pembantu oleh tantenya, sekarang Amira sudah seperti nyonya besar yang sedang duduk sambil mendengarkan ucapan para tetangganya.
"Aku yakin bahwa calon suamimu itu sangat beruntung karena memiliki perempuan yang cantik seperti kamu dan juga jago masak. Andai tante mempunyai anak laki-laki tentu saja tante akan menjadikan kamu sebagai menantu." Tetangga yang maha benar itu mengatakan seperti itu kepada Amira. Amira hanya memberikan anggukan serta senyuman untuk tetangganya.
"Iya, dia memang sangat pintar memilih calon suami. Karena aku dengar calon suaminya itu anak tunggal kaya raya." Ibu-ibu yang memakai daster berwarna kuning yang belum tahu bahwa Jordan itu sekarang mempunyai adik yang masih kecil mengatakan dia sangat pintar memilih calon suami hanya karena Jordan anak tunggal kaya raya. Walau Gavin adalah adik angkat Jordan, tapi calon mertuanya menempatkan kedua anaknya dengan posisi yang sama.
"Pasti setelah menikah kamu akan dijadikan ratu disana." Ucap ibu-ibu yang memakai bedak tebal. Amira tidak habis pikir dengan ucapan ibu-ibu itu. Tentu saja perempuan setelah menikah itu akan dijadikan ratu ketika berada di rumah suaminya. Gak mungkin di jadikan babu.
"Iya, pasti dia akan menjadi menantu kesayangan disana." Lagi-lagi pujian itu mereka berikan kepada Amira.
Amira tidak menanggapi mereka. Hanya saja giginya hampir kering gara-gara dia terus tersenyum dan kepalanya terus mengangguk.
"Semoga kamu akan selalu bahagia." Ucap ibu-ibu yang memakai jilbab berwarna pink yang memang ucapannya itu paling benar dari pada mereka.
"Amin, Bu." Jawab Amira cepat. Doa yang baik harus segera diaminkan. Bukankan begitu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Pengganti
RomansaAnisa Maharani Alfat, perempuan berumur 23 tahun yang menyukai kakak tingkatnya sendiri yang bernama Jordan Mahendra, lelaki berumur 25 tahun yang sama sekali tidak pernah meliriknya hingga keduanya lulus dan menjalani kehidupan masing-masing. Entah...