Prolog

6.7K 334 14
                                    

"Engh," Aku terbangun saat merasakan ada tangan seseorang membelai wajahku.

"Astaghfirullah, Pak Raffa." Dia Pak Raffa, anak dari atasan tempatku bekerja.

Aku segera turun dari kasur berusaha menjauh darinya, kulihat sekeliling kami. Kamar hotel, seingatku kemarin aku sedang berada di hotel ini untuk mengatur resepsi pernikahan. Tapi, kenapa aku malah tertidur di sini bersama anak atasanku.

Aku segera menghampiri pintu, namun kenapa pintunya tidak bisa terbuka?

Kugedor pintu itu sekencang mungkin sambil berteriak, namun nihil. Tidak ada yang akan mendengarku.

"Tolongg, kami terjebak di sini!!"

Handphone?

Astaghfirullah tadi saat akan ke kamar mandi aku menitipkan tas ke Riana, kepanikan ku semakin bertambah.

Telepon? Ya, telepon khusus. Aku mencoba menghubungi pihak hotel, tapi tidak bisa.

"Alesha?" Aku menghiraukannya.

Saat aku sedang berusaha menghubungi pihak hotel, Pak Raffa menghimpitku di pojokan pintu kamar mandi.

Tanganku gemetar, nafasku tercekat. Aku bisa merasakan tubuhnya sangat dekat denganku, "P-pak?" Air mataku luruh.

Dia menarik tanganku, membalikkan tubuhku. Aku menunduk dan terus meminta pertolongan.

Bisa kucium aroma asing dari mulutnya, aku menutup hidung dan berusaha mendorongnya.

"Pak, istighfar. Sadar, Pak. Kita terjebak di sini." Namun usahaku sia-sia, dia malah menarik paksa hijabku dan mendaratkan bibirnya tepat di bibirku.

Aku terus memberontak, menangis sejadi-jadinya. Perlakuannya salah, ini tidak boleh, ini dosa.

Aku tidak berhenti untuk berusaha menolak perlakuannya, dorongan tanganku tidak berpengaruh sama sekali. Tenaganya tidak sebanding dengan tenagaku, disaat seperti ini aku teringat keluargaku.

Tidak lama kemudian dia berhenti, semua perlakuannya terhadapku berhenti begitu saja.

"Tolong, tolong saya." Katanya lirih.

=====

Pukul tiga pagi, aku terbangun. Lalu merapikan hijab dan segera menghampiri pintu kmar mandi yang semalam terpaksa ku kunci dari luar.

Tok tok tok

"P-pak?" Tidak ada sahutan dari dalam, kucoba ulangi berulangkali. Namun, hening tidak ada suara sama sekali. Akhirnya aku membuka pintu itu dengan perlahan.

Baru saja pintu terbuka, aku melihat pakaian yang semalam membalut tubuh Pak Raffa berceceran di mana-mana. Pikiranku pun berkelana, bagaimana jika Pak Raffa tidak memakai apapun. Astaghfirullah, pikiran macam apa itu.

Lalu, arah pandangku tertuju pada bathub dan segera berjalan ke arah sana, ternyata Pak Raffa tertidur di sana dengan memakai bathrobe.

Tok tok tok

"P—pak," Kuketuk pinggiran bathub agar Pak Raafi terbangun.

Dia bergerak, matanya perlahan terbuka dan menatapku keheranan.

"Sa—saya mau wudhu, apa bapak bisa keluar dari kamar mandi?"

"Ah, iya." Dia terdiam sejenak, lalu setelah sadar sepenuhnya ia beranjak keluar sambil memunguti pakaiannya.

Karena tidak membawa mukena, aku berniat shalat seadanya. Kebetulan aku selalu memakai gamis syari lengkap dengan hijab dan kaus kaki.

"Di dalam lemari biasanya disediakan alat shalat." Mungkin sedari tadi dia memperhatikan gerak-gerikku, dia beranjak dari duduknya.

"Oh ya, jangan dulu shalat. Saya juga mau shalat biar bareng." Setelah mengatakan itu dia masuk ke kamar mandi.

Aku menghiraukan ucapan terakhirnya, karena teringat suatu hadist.

Menurut Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM-NU) mengutip Al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab karya Imam Nawawi disebutkan, makruh hukumnya seorang laki-laki sholat dengan seorang perempuan yang asing (bukan mahramnya) berdasarkan hadist Nabi SAW, "Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang perempuan melainkan ketiganya adalah setan."

Beberapa menit kemudian Pak Raffa keluar dari kamar mandi, lengkap dengan pakaiannya yang semalam.

"Kenapa tidak menunggu saya?" Tanyanya saat aku telah selesai menunaikan shalat.

"Makruh hukumnya kalau kita berjamaah, terlebih kita bukan mahram." Dia hanya mengangguk.

Setelah selesai shalat tahajud dan subuh, kami membereskan kembali alat shalat. Lalu mencari cara agar pintunya bisa terbuka, Pak Raffa menelepon seseorang dan meminta tolong perihal kejadian ini.

Fyi, handphoneku kehabisan baterai. Sudah menjadi kebiasaanku sejak dulu memang, tolong jangan ditiru.

"Alesha?"

"Ya?"

"Maaf, dan terimakasih."

"Ya, terimakasih kembali."

"Hm? Untuk?"

"Semalam anda berusaha menahan diri agar tidak melakukan hal itu."

"Kamu tidak marah? Semalam saya menarik hijabmu dan—" Ucapannya terhenti saat seseorang membuka pintu.

Cklek

"Alhamdulillah, saya duluan assalamu'alaikum." Kataku lalu segera pergi dari sana.

Buat yang baru baca, yuk bisa yukk spam vote biar author semangat ngetiknya🥰
Comment apa aja juga bebas, sebagai tanda menghargai

See you next chapter guys!
Klik bintangnya yaa, thankyou

KISAH KASIH KITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang