Sulur Iblis

492 80 27
                                    

Kenyataan itu mengerikan, terlebih jika ada makhluk super jelek dan menyeramkan yang bertitah bakal merobek tubuhmu jadi dua. Junhui bukan tipe orang penyuka film horor dan thriller, dia lebih menikmati roman picisan atau kartun anak. Mendapati bahwa yang ia hadapi setara Saw dan The Human Centipede, saraf kognitifnya langsung bekerja kelewat panik.

Asam lambung mendobrak pintu lambungnya, membuat kepalanya pusing dan kakinya mati rasa. Sebelum sempat dibelah jadi dua, Junhui memuntahkan kejujurannya mengenai penampilan fisik Ouwen yang buruk rupa.

Dan muntahannya itu mengenai tepat wajah si monster yang siap berdansa.

Kendati bakal murka dan membabi buta, Ouwen justru menciut kembali menjadi pria biasa, bedanya dengan tubuh dipenuhi noda muntahan.

"EW!!" teriaknya.

"Sumpah? Demi apa Wen Junhui? Tepat di tengah pertarungan kita?" protes Ouwen tak terima. Alisnya berkedut-kedut kehilangan momen.

"Kau ini sebenarnya punya hati tidak, sih? Aku baru saja mau melakukan hal keren, kau malah muntah di wajahku. Apa aku semenjijikkan itu, hah? Tidak bisakah kau menghargai wujud lainku, Wen Junhui? Kau itu manusia bukan?"

"A-ah, bung Ouwen, ma-maaf soal itu---"

"Diam!" pekiknya. Nada suaranya sekarang berubah oktaf. "Cukup. Selesai sudah. Kau menyakiti perasaanku. Aku membencimu, tapi aku hargai kejujuranmu."

Sumpah, Wen Junhui tidak bermaksud menghina, apalagi sampai muntah ke orangnya langsung. Tapi entah kenapa, organ biologisnya sedang tidak ingin bekerja sama akhir-akhir ini. Dia suka bergerak sendiri tanpa diminta. Sementara Junhui diliputi rasa takut dan rasa bersalah, Ouwen mengelap sudut matanya yang berair.

"Adios, Wen Junhui."

Tiba-tiba dia melesat sangat cepat---terlalu cepat---hingga mata Jun luput membaca pergerakannya. Pria itu menyeringai, dan dengan liciknya menyerang titik kelemahan Junhui dengan sentuhan telunjuknya. Entah jurus akupuntur apa itu, tubuh Jun terasa seperti habis digebuk puluhan orang, pakai balok kayu, di tempat yang sama berulang-ulang. Rasanya seolah semua organ internalnya meledak, panas dan perih, hingga kakinya bergetar mati rasa. Giliran Jun muntah darah dan jatuh berlutut, Ouwen sudah kembali ke kursi tahtanya.

"Aku pergi dulu, Junhui. Kalau sempat, mari bertemu lagi! Kalau kau masih hidup, sih."

"Keparat!" desis Jun susah payah. Ia memuntahkan darah lagi, kali ini jauh lebih kental dan pekat.

"Hancurkan sisanya."

Begitu Ouwen bertitah, pasukan langsung membentuk formasi siap perang, ditambah pula pamer satu set persenjataan modern lain yang bikin iri hati. Selagi kursi tahta mewujud menjadi hologram dan menghilang di tengah pertempuran, tembakan dan granat kembali diluncurkan.

Junhui menarik napas dalam-dalam, geram akan kekalahannya itu. Dengan bantuan Zhuīzhú Yuèguāng, Pedang Mengejar Sinar Rembulan, Jun berhasil berdiri di atas kedua kakinya kembali. Ia membuang ludah darah ke samping, menatap garang pada sekumpulan orang jahat di depannya.

"Keparat brengsek," umpatnya, seratus persen lupa bahwa cerita ini bermaksud ramah bahasa.

Entah jurus apa yang ia pilih saat ini, pedang mulai berbinar-binar terang. Jun dengan segera melemparnya ke atas, membuat pola melingkar dengan tangannya, lalu berhasil menciptakan spektrum pelindung berwarna biru muda di sekelilingnya. Pelindung ini sukses menghalangi rentetan peluru dan bom yang diluncurkan, sekaligus menghanguskannya menjadi abu.

Naungan Biru, eksemplar jilid ke-5 Bab 23.

Oke. Dia bahkan mengingat hal yang tidak pernah ia ingat sebelumnya. Jurus Naungan Biru sepertinya terbukti efektif melindungi gedung dari kehancuran, tapi sialnya, kondisi tubuh Junhui makin tidak beres. Dia lagi-lagi terbatuk dan memuntahkan darah.

The Crown Prince | JunhaoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang