Cahaya Ilahiah yang Meresahkan

348 92 23
                                    

Tidak bakal ada yang menebak kalau Xiao Ba tahu nama Junhui.

Bahkan Jun sendiri. Ia segera saja mendelik terkejut sekaligus penasaran kepada pemuda di sampingnya, yang masih saja berusaha menutup-nutupi identitas Wen Junfei dari anak-anak yang sok mau tahu ini. Minghao balik mendelik, minta penjelasan kenapa mereka saling mendelik sekarang. Untungnya, sebelum kedua bola matanya menggelinding lepas, Hao pamit undur diri dan menggeret Jun pergi beserta kuda mereka.

Letak rumah sang pencuri modis ini berada di luar petak perumahan desa. Mereka keluar dari gapura kayu yang berada di sisi berlainan dari gapura masuk, menyusuri persawahan yang sibuk oleh para petani, menuju ke daerah sepi di tepi lembah. Di ujung jalan, berdiri sebuah rumah kecil berbahan kayu, dengan halaman yang dipenuhi rumput, rapi dan klasik. Pagarnya berupa cagak kokoh beratap papan kerucut, di tengahnya menggantung sebuah lonceng dengan kertas bertuliskan huruf tegak sambung.

Minghao membiarkan si kuda berkelana di samping rumahnya. Di sana ada halaman yang lebih luas, dilengkapi dengan pohon rindang dan meja panjang yang terlihat tua. Selagi Junhui masih mengamati sekitarnya dengan teliti, Xiao Ba menaiki undakan kecil dan membuka pintu.

"Rumah ini memang sangat jauh jika dibandingkan dengan perguruanmu, tapi, semoga kerasan di sini," katanya sambil menghalau tirai. "Ayo, masuk."

Junhui menaiki tangga kecil menuju serambi. Ia lantas melangkahkan kaki kanannya ke dalam, kepalanya mengintip dari sela tirai. Keadaan di dalam tidak jauh berbeda dengan keadaan di luar, masih terlihat sederhana namun entah kenapa sangat rapi dan tidak terkesan kotor atau mau hancur. Ruangan depan dibagi dua bagian. Yang kiri terdiri dari kursi kayu panjang dan karpet jerami. Di bagian kanan terdapat meja pemujaan, lengkap dengan sesembahannya.

Minghao masuk ke ruang lain melalui ambang pintu bertirai. Di balik tirai ada lorong memanjang tanpa sekat yang langsung mengarah ke halaman belakang. Lorong ini memisahkan dua ruangan. Yang kanan adalah kamar tidur, yang kiri dapur dan meja makan. Junhui diarahkan ke kamar tidur. Di sana Minghao meletakkan buntalan seprai milik Jun di atas matras tipis berkaki 4. Di samping matras adalah jendela segi empat tak berpintu. Selain itu, ada juga lemari kayu dan meja rias berkaca.

Junhui memutuskan untuk duduk di ujung matras, merasakan kadar keempukannya yang tak jauh berbeda dengan kasur keras di Anggrek Putih. Hanya ada satu bantal berbentuk tabung di kepala kasur, teronggok menyedihkan dan kesepian. Ah, harusnya tadi Jun kepikiran membawa bantal.

"Rumah ini ... terasa nyaman. Terima kasih sudah menampungku, hahaha ...." celetuknya memecah keheningan.

Minghao menggaruk kepalanya. "Aku melakukannya karena kau menepati janjimu untuk membebaskanku, tapi sayangnya caramu bodoh sekali. Jadi inilah satu-satunya caraku membalas budi."

Jun terkekeh. "Aku tahu. Maaf ya."

"Aku akan masak sesuatu. Kau bisa ... beristirahat sebentar atau ... terserah. Yang pasti kau berhutang cerita padaku," lanjut Minghao lagi. Ia pun keluar dari kamar dan menghilang di balik tirai.

Jun memutuskan untuk rebahan. Ia menatap atap yang lapuk dan terlihat lembab, tangannya mengusap wajahnya berulang kali. Dari mana Minghao tahu siapa namanya? Apa Jun pernah tak sengaja mengucapkan kalau namanya Junhui? Sepertinya belum pernah ... kan? Ia mengelus-elus dagunya, berpikir apakah ini keberuntungan belaka seperti caranya menebak identitas Xiao Ba.

Dari luar kamar, ia mendengar suara pisau yang beradu dengan talenan, memberikan tempo sistematis tiap seperempat ketukan. Hidungnya juga mulai mencium aroma bubur yang sedang dimasak. Tak sadar, perutnya mulai menggerung rusuh. Ah, benar. Tadi pagi Jun belum sempat sarapan karena dia terlalu pusing memikirkan cara untuk membebaskan Minghao. Ia mengelus perutnya, mengucapkan maaf karena tidak sempat memberinya makan.

The Crown Prince | JunhaoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang