Jangan Berdoa Kalau Terpaksa

189 33 6
                                    

25 tahun sebelumnya.

Lantunan guqin memenuhi seisi ruangan di siang hari itu. Bunyinya yang merdu begitu menenangkan hati, melukiskan senyum di bibir siapa saja yang mendengarkannya, pun Wen Junfei kecil yang acap kali mengintip dari balik pintu. Pemuda berumur 5 tahun ini terkikik kecil ketika pelayan menemukannya, kemudian bangkit berdiri dan melarikan diri. Langkahnya ringan sekali, sepertinya pongah akibat sudah berhasil mendalami caranya berlari keren ala pendekar. Sesampainya di taman, Junfei melompat dari anjungan, lagi-lagi berhasil mendapatkan gumaman panik dari pelayan.

"Niáng!" teriak Junfei kecil pada ibunya yang tengah duduk di serambi, rupanya tengah membaca buku sastra kuno yang tak Junfei ketahui hurufnya. Perutnya yang besar terlihat merepotkan, kadangkala membuatnya tak bisa beraktivitas dengan baik. Namun tak masalah, karena Junfei akan selalu membantu, setidaknya sampai adik kecilnya lahir.

"Ah-Fei, sudah kubilang jangan membuat para pelayan kerepotan," tegur beliau lembut.

Junfei mengusap peluh di dahinya cekatan. "Aku tidak buat repot. Mereka saja yang tak kuat mengejarku."

Sang ibu hanya menggeleng dan tersenyum. Ditepuknya bantalan kursi di sebelahnya yang kosong, meminta anaknya untuk duduk di sebelahnya, mungkin upaya untuk membuatnya diam. Selagi Junfei susah payah memanjat undakan kursi, sang ibu meminta pelayan menyuguhkan minuman untuk anaknya.

"Biar kutebak, kau mengintip ayahmu lagi, kan?"

Alih-alih merasa bersalah, mata Junfei justru berbinar semangat. "Diē bermain dengan bagus! Aku ingin bisa bermain guqin seperti Diē."

Wen Baohu, ayah Junfei, adalah ketua kesenian di Perguruan Anggrek Putih. Kata ketua sepertinya terdengar terlalu merendahkan, karena dia adalah guru besar seni paling terkenal waktu itu. Kemahirannya dalam memainkan alat musik, kepiawaiannya dalam bernyanyi, pun bersajak, dan bertarung, semuanya dilakukan dengan sangat indah. Dan tentu saja, Wen Junfei sangat mengidolakan ayahnya tersebut, betapa ia ingin menjadi sebaik dan seindah ayahnya.

Namun perjalanan Junfei kecil tentu masih panjang. Fokus masalah utama yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana menjaga diri diam dan tenang ketika berlatih meditasi. Sudah tahu, kan, bagaimana tabiat si mungil itu? Duduk diam barang semenit saja sudah tak kuat dia, apalagi menghabiskan hampir seumur hidupnya berkelana dalam dunia transpersonal. Bah! Bisa-bisa kena kejang.

Padahal untuk bisa menjadi sehebat ayahnya, diperlukan latihan yang konsisten dan tidak main-main. Kunci utama adalah meditasi, bagaimana cara menjaga diri tetap tenang. Meski bermain pun bersajak, alur qi dalam tubuh harus tetap sebagaimana mestinya. Mengalir, flow, bagai riak air di hilir sungai yang tetap menjaga aliran terus bergerak sebagai upaya penjernihan. Atau seperti lautan dalam. Nampak tenang, tapi bisa menjadi gelombang seram andai diperlukan.

Yah, itu bisa dipikir nanti, karena nampaknya Junfei kecil lebih khawatir perihal perut ibunya yang makin membesar alih-alih tetek bengek ketenangan dan dunia spiritual.

"Kapan keluar?" celetuk Junfei tiba-tiba, selagi jemari mungilnya ternodai minyak kue bulan.

Sang ibunda menoleh bingung. "Apanya?"

"Adik. Kapan keluar? Niáng terlihat kesusahan dengan perut raksasa," jawabnya cepat.

Qin Yiwei tertawa. Dielusnya kepala anak tersayangnya itu lembut.

"Entahlah. Mungkin purnama selanjutnya."

Purnama selanjutnya terasa seperti selamanya. Di selang waktu ibunya mulai beristirahat karena kandungan semakin besar, sampai ketika para pelayan berbondong-bondong memanggil tabib, Wen Junfei kecil sudah berhasil mempelajari berbagai trik-trik menarik dari Guru Zu yang sebetulnya tidak penting-penting amat. Bahkan mungkin mencabut rumput di halaman tengah untuk melarikan diri dari kerusuhan pelayan jauh lebih penting daripada trik "Melepas sandal dengan elok!" yang sudah Junfei khatami.

The Crown Prince | JunhaoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang