Part 1

109 16 0
                                    

4 Januari 2011

Waktu itu, aku dan dia pergi bersama ke sebuah mall dekat apartemen kami. Disana aku melihat ada sebuah tempat tidur yang tampak nyaman sekali untuk ditiduri. Mungkin jika dua orang berada di tempat tidur itu akan sangat hangat dan nyaman, pikirku.

Aku berkata padanya, "Aku belikan ini untuk hadiah pernikahanmu ya."

Dia menatapku sedikit kaget, "Untuk apa?."

Dia mengalihkan pandangannya menuju lemari pakaian dari kain yang terpampang rapi di samping meja makan.

Aku tau itu hanya caranya untuk mengalihkan pembicaraan, terlalu mudah untuk ditebak. Aku juga tau, tidak ada pilihan jawaban yang lebih baik untuk menanggapi perkataanku. Dan akhirnya akupun hanya bisa tersenyum kecil menatapnya.

Bila harus jujur, aku tidak ada niatan sedikitpun untuk menggodanya. Aku memang sengaja ingin mencibirnya. Lebih tepatnya aku ingin tahu ekspresi apa yang akan dia buat.

Dulu dia pernah berkata, kami berdua adalah "takdir", mungkin saat ini lebih tepatnya hanyalah sekedar "hampir".

-------------------

Di pinggir jembatan dekat dengan apartemen, kami turun dari taxi warna silver dengan tangan hampa. Matahari sudah separuh tertutupi oleh air laut biru itu.

Ini adalah pemandangan favoritnya.

Aku masih sangat ingat pertama kali saat aku dan dia memilih apartemen ini untuk tinggal bersama.

Dia sangat menyukai cahaya matahari senja yang samar-samar menembus air laut di pinggir jembatan ini. Begitu indah, membuatnya nampak berkilauan bagaikan berlian.

Dan burung-burung yang beterbangan kesana-kemari, menghiasi langit warna oranye kesukaanya.

Dia selalu berkata, hidup disini ibarat seperti sebuah mimpi.

Tapi dia tak pernah tahu, aku ingin berkata padanya, bahwa bagiku, dialah mimpi yang sebenarnya.

Kami berjalan saling beriringan. Angin bertiup sepoi-sepoi membuat rambutnya yang halus menjadi berantakan. Dia sangat lucu saat mencoba melindungi rambutnya dari hembusan angin.

Aku menghentikan langkahku berharap dapat menangkap semua yang terjadi di sore itu dan merekamnya baik-baik dengan kedua mataku.

Sinar matahari sore menyinari wajahnya, membuatnya nampak begitu lembut bagaikan lukisan di atas kanvas yang selalu indah untuk dipandang.

Hidungnya yang lancip dengan sedikit lekukan namun tidak terlalu besar, berdiri tegas diantara pipinya yang memerah terkena sinar matahari sore dengan rambut halus di sekitarnya.

Aku selalu memintanya untuk mencukur rambut di dagu dan pipinya itu. Tapi dia selalu bersikeras tidak mencukurnya. Dia takut, akar rambutnya akan semakin menebal dan wajahnya akan berubah menjadi biru hijau seperti memakai masker apabila dia mencukurnya.

Ketika kami tiba di apartemen, aku melihat 4 buah koper berjajar rapi di ruang tamu. Dia mulai mengemasi barangnya sementara aku berpura-pura tidak perduli.
Mana barangku dan mana barangnya kami sudah saling mengetahui.

-------------------



6 Januari 2011

Dia melempar badannya keatas sofa yang empuk, mencoba meluruskan kakinya yang panjang, mencari posisi yang nyaman diatas sofa yang hanya mampu menampung separuh dari panjang badannya.

Aku mendekatinya, melemparkan wajahku yang kecil di dekat dagunya.

Dia mengelus rambutku dan mencium keningku dan memelukku untuk berapa lama.

Tak perlu banyak kata, hanya ini saja, sudah cukup bagiku.
-------------------


A Disastrous LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang