happy

1.2K 119 19
                                    

Aroma laut menjajah indra penciuman Jeno senja itu. Kedua bola mata dengan iris kecokelatannya menyaksikan detik-detik mentari mengalah pada aturan semesta. Menarik diri lalu menghilang di balik batas cakrawala.

Satu helaan napas Jeno lepaskan. Kedua netranya lantas beralih pada arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiri.

Renjun terlambat lagi. Senja sudah berakhir.

Batin Jeno meringis. Kendati begitu, ekspresinya tak berubah. Tetap statis. Tetap sedatar permukaan air laut yang tenang. Seolah tak keberatan dengan perihal si pujaan hati yang lagi-lagi gagal menemaninya memuja senja.

Saat hendak mengangkat badan, sebuah pelukan menghantam tubuh Jeno dari belakang. Dua buah lengan kurus mengalung di sekitar lehernya. Embusan napas terengah-engah terdengar jelas melewati rongga telinga Jeno.

"Aku, huh, terlambat lagi." Cicitan itu Jeno dengar, hangat napas Renjun juga menerpa bagian kanan wajahnya.

Jeno tersenyum tipis. Ia elus dengan lembut tangan Renjun yang bertautan melingkar di lehernya. "Gak apa-apa, yang penting kamu datang."

Renjun tidak bisa menahan desakan rindu di dalam dirinya. Ia mengeratkan pelukannya pada Jeno. Dan kekehan Jeno terdengar setelahnya.

"Kangen?"

Renjun mengangguk antusias. Helai poninya menggelitik leher Jeno. "Banget!"

Jeno kembali terkekeh, kali ini tangannya terulur mengusak surai Renjun yang lembut dan halus. Ia tarik tangan Renjun perlahan lalu membawa tubuh itu ke depan raganya.

Renjun yang duduk di antara kaki Jeno, tersenyum melihat wajah rupawan pemuda itu. Masih selalu terkesima melihat noktah kecil di bagian bawah mata kanan kekasihnya itu.

"Kenapa?" tanya Jeno heran saat Renjun begitu asyik memperhatikan wajahnya.

Renjun mengerucutkan bibir lucu. "Kamu ganteng," katanya jujur. Jeno tidak bisa tidak tertawa karenanya.

"Kamu juga, tapi lebih banyak manisnya," balas Jeno sembari menjawil hidung mungil Renjun.

Suara tawa Renjun mengudara, bersatu padu dengan partikel udara yang mulai terasa dingin. Petang hendak berganti status menjadi malam.

"Senjanya udah habis, ya. Padahal tujuan kita ke sini kan mau melihat senja," ujar Renjun sembari menengok ke belakang. Yang ia dapati malah kelamnya permukaan air laut.

"Kamu lebih indah dari senja, itu udah lebih dari cukup." Jeno berkata manis. Mencoba menggoda.

Renjun mencebik, kendati begitu, kedua pipinya menggurat warna merah yang kontras dengan warna langit. "Apaan, sih. Gombal!" responsnya sedikit malu.

Jeno menikmati momen itu, menikmati momen saat pemuda bersurai hitam selegam langit malam itu tersipu karena dirinya. Menikmati kala dua bola mata yang menyimpan konstelasi berisi jutaan bintang itu memandangnya.

Ia lagi-lagi jatuh cinta. Pada Renjun. Pada pemuda manis yang ia temui di sini, di pantai yang selalu jadi saksi mengenai kisah sederhana mereka. Mengingat pertemuan pertama mereka, lagi-lagi mengundang tawa Jeno berderai.

"Kamu ketawain aku?" tuduh Renjun dengan mata menyipit. Ia sudah memberi gestur, bersiap-siap mencekik Jeno.

Jeno menggeleng. "Aku ketawain kita," jawab Jeno menghalau kecurigaan Renjun.

"Hah?"

"Ingat gak waktu kita pertama ketemu?" tanya Jeno lembut sembari menaruh untaian rambut Renjun yang mulai panjang ke belakang telinga pemuda itu.

hirap // norenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang