Lembutnya embusan milik angin menerbangkan tirai tipis berwarna putih yang menepi ke sudut jendela. Pemandangan birunya langit di luar sana menyekap Jeno. Untaian kata yang sejak tadi menjadi fokusnya, kini ia abaikan.Bila langit birunya cerah melambangkan kebahagiaan, hati Jeno memiliki biru yang mencipta pilu.
Kadang kala, Jeno ingin terlahir kembali jadi awan agar tidak mengenal rasa sakit yang menyiksa. Tapi ada seseorang yang tidak ingin ia biarkan menghadapi dunia yang kejam sendirian.
Derit pintu yang bergeser pelan membuat Jeno terkesiap. Ia kembali pura-pura membaca buku berukuran besar dan memiliki gambar yang tadinya telah ia anggurkan. Tangan pucat nan kurusnya yang ditempeli infus membalik halaman dengan tenang.
"Jeno. Kamu lagi baca apa?" sapaan hangat-suara lembut yang memuat kasih sayang itu membuat Jeno menoleh.
Rupa seindah fajar pagi yang merupakan pemilik senyum secerah bunga matahari itu datang membawa dua tangkai bunga krisan berwarna kuning. Warna kesukaan sosok itu, Renjun.
"Dongeng," jawab Jeno sekenanya. Ia kembali pura-pura sibuk pada bukunya.
Setelah mengganti bunga di vas yang sudah layu dengan bunga krisan, Renjun menarik kursi yang ada di sisi kiri ranjang Jeno. Ia duduk di sana dengan ekspresi ceria, seperti biasanya.
"Bacain buat aku dong!" seru Renjun penuh antusiasme sembari mempersempit jaraknya dengan Jeno. Kepalanya kini nyaris bersandar pada lengan kurus Jeno, ikut melihat buku yang tampak menarik itu.
"Ini halaman terakhir," kata Jeno tanpa melirik Renjun. Sebab, tanpa melihat pun, Jeno tahu Renjun ada di sana. Aroma khas milik Renjun sudah diingat dengan jelas oleh indra penciumannya.
"Gak apa-apa. Aku pengen dengar suara kamu," ujar Renjun pelan. Kali ini dia benar-benar menyandar pada lengan Jeno, yang kini tak bisa lagi Renjun gigit dengan gemas seperti dulu.
"Habisnya, aku iri. Lengan kamu kok bisa berotot gini."
Itu kata Renjun saat itu. Saat Jeno bertanya sambil meringis melihat jejak gigi dan liur di lengannya.
Kembali pada Jeno yang kini diam-diam tersenyum dengan kedua bibir yang kering dan hampir berwarna putih itu. Ia berdeham sebentar sebelum mengabulkan permintaan Renjun.
Di dalam halaman terakhir buku yang memuat ilustrasi berupa anjing yang seolah berbicara pada seekor anak rubah itu, terdapat sebaris kalimat penutup.
If you can't find the miracle, be the miracle, little fox.
Renjun sempat terkekeh sebelum kalimat berakhir. Sebab Jeno membuat suaranya berbeda, persis seperti tengah mendongeng.
"Jika kamu tidak bisa menemukan keajaiban, jadilah keajaiban, rubah kecil," ucap Jeno menambahi-menerjemahkan seraya menutup buku itu.
Renjun menegakkan tubuhnya. Ia tatap wajah Jeno yang kian tirus kian hari. "Dongengnya bagus," pujinya tulus.
Jeno menengok heran padanya. "Kamu kan cuma dengar akhirnya?"
Renjun tertawa pelan sembari menarik tangan kiri Jeno. Ia genggam dengan lembut, seakan-akan tidak ingin menyakiti Jeno.
"Kamu baca sampai habis kan? Berarti dongengnya bagus," ujar Renjun seraya mengelus punggung tangan Jeno dengan ibu jarinya.
"Gak begitu bagus. Anak rubahnya gak dapat akhir yang bahagia," terang Jeno sambil mengangkat buku dongeng itu dengan tangan kanannya. Ia tatap lama sampulnya.
"Memangnya semua cerita harus berakhir bahagia?" tanya Renjun lengkap dengan tatapan polos mengarah pada Jeno.
Lelaki yang ditatap oleh Renjun itu lantas menengok padanya kemudian bertanya, "Kamu suka cerita yang akhirnya sedih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
hirap // noren
FanfictionSedikit-kurang kompilasi lakon sederhana yang hanyut diboyong waktu yang saya tulis jauh-jauh lalu.