binara asa

429 55 16
                                    


Menara tua itu selalu jadi lokasi mereka menuai kisah; berupa memberantas belukar rindu entah menyalakan percikan asamaraloka. Posisi si binara jauh mengasingkan diri dari rusuhnya dunia pun kejamnya pandang manusia. Kedamaian yang terpencil, hati Renjun melabeli.

Tapi hari ini, di kala kelabunya cakrawala membungkus bumi, Renjun duduk di tangga masuk dengan selaksa kemelut yang diproses oleh gerigi otak. Wajahnya tak pasang aura berseri, hatinya mengeluh kesana-kemari.

Perkara kelangsungan masa depan kembali menusuk-nusuk sanubari.

"Sudah lama?"

Abrasi di dalam logika menyebabkan Renjun tidak menyadari kedatangan si tuan pemilik lahan terbesar di hati. Setelah dikecup lembut dibagian kening, barulah Renjun terkesiap lantas mendongak memandang kekasih.

"Jeno..." panggilan itu mengandung molekul kegamangan. Dan Jeno tentu tahu, parade apa yang tengah bersorak-sorai dalam diri Renjun.

Jeno meraih pergelangan tangan Renjun setelah duduk di sisi kanan sang tambatan hati. Pemuda aristokrat itu menyelia detak nadi Renjun yang berselerakan.

"Ada sesuatu yang mengganggu hatimu, Rawi?" Jeno menyapu lembut pipi tirus Renjun. Ibu jarinya mencipta banyak jejak sebelum kedua belah bibir kembali jatuhkan sebuah sun penuh kasih di kening Rawi-nya.

Renjun menggelengkan kepala. Cemasnya kembali ia pendam sendiri. Segala gundah yang berlayar di sekujur tubuh ia tanam dibalik sebuah senyum yang sesungguhnya tiada arti.

"Kau pasti gundah soal berita itu kan?" Jeno menarik tengkuk Renjun pelan. Menggiring masuk pemuda-pemilik wajah seindah pantulan rembulan di permukaan air-itu ke dalam rengkuhannya.

Tubuh Renjun sempat memberikan reaksi kejut. Sejenak dia membatu dalam dekapan si penjajah hati.

"Jangan dipikirkan. Aku bisa atasi."

Tidak. Renjun memekik dalam hati. Dia tidak mau Jeno berkorban lebih dari ini demi dirinya. Dirinya yang hina, tiada punya apa-apa, selain raganya yang tak seberapa berharga.

"Jangan lakukan apapun." Renjun memperingati.

Secepat kedipan mata, Jeno mendorong lembut tubuh Renjun. Ia pandang dalam-dalam manusia kesayangannya itu.

"Kenapa?"

Mengalihkan pembahasan, Renjun menjulurkan tangannya merapikan surai si calon pemimpin negeri dengan penuh afeksi sembari bergurau, "Rawi-mu ini tidak bisa mengusir mendung dan ini akan hujan. Pulanglah. Kembali ke istana."

"Dialog kita belum selesai, mengapa kau mengusirku dari istanaku yang sesungguhnya?" Jeno mengernyitkan dahi-mencipta beberapa lapis kerut di sana.

"Aku tidak mau kau sakit, Adiraja." Renjun memekarkan sebuah kelopak senyum sehangat fajar. Ia cubit pelan pipi kanan Jeno seraya terkekeh menawan.

Jeno mengecup berulang telapak tangan Renjun lalu berucap, "Aku bukan Adiraja. Aku hanya Jeno. Jeno kepunyaan Renjun. Begitu saja, jangan dilebih-lebihkan."

Tidak, Jeno. Renjun meringis dalam hati. Seperti pelakon dalam sandiwara, ia hebat mengkondisikan air muka.

"Iya, iya, aku tahu itu lebih dari siapapun. Sekarang kembali ke istana. Aku juga harus kembali jadi sahaya," kata Renjun setengah bergurau.

"Jangan rendahkan dirimu, Rawi. Jangan katakan hal seperti itu lagi." Suara Jeno menegas. Ia menatap Renjun kelewat serius memberi seribu satu emosi ke raga dan sukma si pemuda.

"Maaf. Tidak akan aku ulangi."

Jeno membalas dengan sebuah kawah kaya akan afeksi di wajah. "Aku tidak ingin kembali, Renjun."

hirap // norenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang