rumpang

209 32 0
                                    

halo, sebelum hilang (kembali), saya hanya mau menitip beberapa karya lama saya di sini. saya juga sudah lupa plotnya, HAHA. tapi sayang bila suatu saat ini hilang tanpa diingat, jadi selamat mendayung di kisah ini. semoga hidup baik dan senyum senantiasa bersemayam di wajah jelita kalian. <3


***


Renjun as Langit

Jeno as Bumi

***


"Bukan urusan, Abang."

Aku menyahut ketus Abangku. Gimana enggak, tiap hari dia bahas itu terus. Aku bosan dan kesal. Apa enggak bisa dia enggak bahas ini satu hari ini aja.

"Kamu tuh keras kepala banget, putusin Bumi." Abang lagi-lagi meminta hal yang sama dan jadi hal yang gak bakalan aku lakuin.

"Enggak mau. Aku sayang Bumi. Abang gak bisa atur-atur aku!" balasku sangat-sangat kesal. Aku jalan ke luar rumah terus tutup pintu dengan kasar sampai telingaku saja berdengung dibuatnya.

Rupanya, di depan rumah sudah ada pemuda yang jadi bahan pertengkaran aku dan Abang tiap pagi. Pemuda itu namanya Bumi, pacarku. Aku sayang dia. Semua orang juga tahu kalau dia juga sayang aku.

Bumi tersenyum, padahal wajahku lagi nampak senggak. Aku langsung menghampiri dia dan peluk dia seerat mungkin. Aku gak mau kehilangan Bumi.

Dia gak ngomong apa-apa. Justru dia elus-elus kepala aku penuh cinta. Aku mau nangis. Kenapa sih Abang tiap hari nyuruh aku putus sama Bumi? Sama laki-laki sebaik ini? Sama Bumi-ku yang ganteng dan tinggi ini?

Aku pengen benci Abang, tapi gak bisa. Dia Abang aku.

Aku melepas pelukanku. Terus aku mendongak menatap wajah Bumi. Ya, harus mendongak, Bumi tinggi, aku kerdil.

"Kamu kenapa?"

Bumi bertanya dengan gerakan tangan dia. Bahasa isyarat. Aku geleng-geleng kepala lalu menyahut, "Gapapa. Aku baik, kalo kamu?"

Bumi senyum lagi. Ya, Tuhan. Kenapa dia ganteng banget, sih? Aku jadi gak suka kalau dia senyum gini. Takut sesak napas!

"Aku baik. Tapi wajah kamu keliatan kesal. Abang kamu marah lagi?"

Aku lihat gerak-gerik tangan Bumi dengan serius. Aku masih suka bingung sama bahasa isyarat, tapi aku suka. Tangan Bumi bagus. Semua yang ada pada Bumi bagus. Dasar aku!

"Iya. Biarin aja, biar dia cepat tua!" aku merespons sedikit galak. Biarin aja Abang marah terus. Pokoknya, aku gak bakalan putus dengan Bumi.

Bumi tertawa kecil. Dia usap-usap puncak kepala aku lagi. Senang banget. Aku sesuka ini sama Bumi. Sesayang ini.

"Kamu udah sarapan? Makan soto di dekat kampus, yuk?"

Aku sumringah sambil angguk-angguk kepala. "Ayuk! Bumi traktir, ya?"

Bumi mencebik tapi akhirnya dia tersenyum gemas juga. Dia raih tanganku dan dia genggam dengan hangat. Telapak tangan Bumi besar, jari-jarinya juga panjang. Kalau dibandingkan dengan tanganku, tanganku kayak tangan kurcaci. Beruntung Bumi kayak raksasa, aku jadi selalu merasa aman. Hehe.

Kami jalan ke kampus. Soalnya rumahku cuma sekitar tiga ratus meter dari kampus. Bumi tiap hari bakalan jemput aku. Kami satu kampus, satu fakultas, satu jurusan, satu kelas, sampai satu perasaaan!

hirap // norenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang