Rekadarma, 2000
"Kamu sudah lihat pengumuman di mading?"
Aku menengok pada pribadi yang duduk di sebelahku. Hingga kepalaku menggeleng sejenak kemudian mengutarakan sesuatu, "Belum. Penting?"
Adam itu mengangguk dengan tangan masih bergerak mengisi catatannya yang kosong. "Iya. Katanya, kampus diliburkan seminggu penuh. Bisa lebih pula daripada itu."
Aku tentu tak terkejut dengan hal itu. Justru aku malah bakal heran jika kampus tidak memberi libur saat situasi benar-benar kacau begini.
"Ah, begitu." Aku menyahut sekadar saja.
"Kamu bakal pulang ke kota asalmu?" tanya Jaemin—nama si lelaki—lagi. Ia nampak cukup penasaran dengan jawabanku. Sampai-sampai berhenti menulis begitu.
"Mungkin saja. Mana betah di kos kalau sedang liburan," kataku menjawab.
Dia tersimpul, menatap aku dengan penuh maksud berguyon. "Mana tahu kamu justru tidak betah kalau tidak bersamaku," kelakarnya yang disanggah lewat dengkusan olehku.
"Percaya diri, banget. Aku justru kewalahan kalau ada kamu." Aku mencibir tapi dia malah lanjut tergelak. Pundaknya naik-turun dihantam gelitik.
"Kewalahan karena menampung rasa sukaku ini?" Dia menanya bersama alis yang digerakkan usil.
Aku mengibaskan tanganku di depan muka. Tidak pengin menanggapi candaannya. Ia suka sekali berguyon soal rasa dan untung saja aku bukan tipikal pemuda yang mudah terbawa kalimat semanis gulanya.
"Liburnya mulai kapan?" tanyaku mengalihkan topik percakapan.
"Besok. Kan kamu sudah tonton di tv kalau bom mulai dijejali dengan nakal di mana-mana."
Aku mengangguk singkat. Teringat bahwa sempat melihat tv di salah satu warung kopi yang aku singgahi. Informasi soal benda-benda peledak itu sudah menyebar luas. Barangkali, negara ini akan hancur jika begini terus. Penanganan sangat lamban. Mau berapa puluh jiwa lagi yang akan dikorbankan? Sudah macam tengah memberikan tumbal saja.
"Kamu tidak takut?"
Kedua manik milikku menilik si Jaemin yang bertanya dengan sedikit menyimpan ragu. Aku mengangkat sebelah sisi alis. "Takut apa?"
"Mati. Mati karena ledakan bom itu."
Aku menghela napas pelan. "Kenapa takut? Nanti juga akan mati."
"Tapi mati karena bom bukan akhir yang bagus."
Aku tertawa mendengar tuturan si Jaemin. Apa-apaan dengan pikiran si pemuda yang biasanya sangat suka mengulas-ulas canda ini?
"Jadi kamu mau bagaimana? Kan enggak bisa kamu ubah juga." Aku menepuk pundak si adam ini pelan.
"Benar memang. Tapi aku minta pada Tuhan supaya hidup lebih lama lagi."
"Bagus. Manusia sudah kodratnya memohon pada Yang Kuasa."
"Tahu enggak kenapa?" tanyanya. Aku merotasikan dua bola mata punyaku dengan malas kala menemukan ekspresi jenaka kembali bersemayam di wajah berpipi tirus itu.
"Tidak tahu. Tidak ingin tahu juga." Aku menyusun alat-alat tulis dan bukuku saat menjawab. Walau sudah bilang begitu, Jaemin mana akan peduli. Ia pasti akan tetap melontarkan frasa penuh bualannya.
"Aku pengin meminangmu dulu, hehe..." Sebuah cengiran menjajah wajah yang cukup rupawan itu. Sayang sekali, aku tidak cinta. Kalau saja bisa. Mau loh aku dijadikan kekasih oleh Jaemin. Lagipula dia baik, ramah, cerdas, dan tampan pula.
KAMU SEDANG MEMBACA
hirap // noren
FanfictionSedikit-kurang kompilasi lakon sederhana yang hanyut diboyong waktu yang saya tulis jauh-jauh lalu.