tujuh laksa rindu

397 57 6
                                    

note: please read carefully.

Februari, 2019.

"Kamu hebat."

Seraya kalimat itu menendang kosongnya udara pukul sepuluh malam, amukan topan absurd rasa-rasanya mengacaukan sanubari Jeno. Ia bingung, tapi pujiannya masih mengudara. Ia heran, namun irisnya masih meloka penuh takjub sosok di depan muka.

"Hebat gimana?" satu kalimat tanya berkolaborasi manis dengan sebuah kekehan ringan.

Jeno menyimak rupa dan gurat ekspresi wajah Renjun. Pemuda itu masih menjelma sebagai lautan di tengah lengangnya malam, tenang tak bergelombang. Tapi apa yang dia sembunyikan? Jeno terlalu takut untuk menebak.

"Kamu masih bisa bercanda di tengah siraman lahar patah hati," respons Jeno penuh perumpamaan.

Tak terkejut lagi dengan gaya bicara penghuni sebelah kamar kosnya itu, Renjun lantas tertawa meriah. Tapi tentu, Jeno lebih daripada tahu. Tawa Renjun serupa riuhnya kaleng rongsok yang diinjak-injak massa. Berisik. Tapi nihil makna.

"Disesali juga percuma, Jen. Lagian sekarang, aku bukan siapa-siapa." Renjun berujar. Kepalanya mendongak kepada langit hitam di atas kepala. Sebenarnya, jauh di dalam sudut hati, Renjun mendadak punya harapan semu. Bilamana ada sesosok monster dibalik gelapnya langit malam, Renjun tidak apa-apa jika dimakan detik ini juga.

Di lain sisi, Jeno mungkin paham Renjun sedang patah hati. (Ya, bagaimana tidak patah. Pacar sendiri selingkuh dengan teman baik sendiri. Seumpama jatuh, ketimpa tangga, terinjak raksasa pula.) Tapi Jeno mungkin tak paham rasanya. Jeno itu terlalu naif-kata Renjun-dengan titel kebanggaan tidak pernah jatuh cinta meski sudah berumur 19 tahun.

"Jadi?" pertanyaan sekata milik Jeno menggantung-gantung liar di dinginnya hawa malam.

Renjun menengok pada Jeno, sepasang alisnya berkerut. "Jadi apa?"

"Kamu gak mau nangis?" kelakar Jeno yang nyaris membuat Renjun tertawa terpingkal-pingkal.

Tuh, kan. Jeno memang naif. Tapi bagaimana, ya. Jeno itu satu-satunya manusia yang siap sedia untuk Renjun di kondisi apapun. Kalau Renjun ingat-ingat, mantan pacarnya saja kalah stand by-nya dengan Jeno ini. Mengenal satu sama lain selama setahun, sebatas teman baik telah menjadi strata tertinggi di antara mereka.

"Kamu pengin lihat aku nangis, gitu?" balas Renjun pura-pura sengit. Berlagak bila pertanyaan Jeno barusan agak ofensif untuknya.

Jeno menggeleng cepat, jelas tidak mau dituduh yang tidak-tidak. "Bukan gitu, Ren. Saya gak bawa tisu. Nanti kalau kamu nangis, mau diseka pakai apa?" vokal Jeno tulus.

Gejolak aneh merembes ke dalam diri Renjun. Setiap sel pada tubuhnya terasa bergetar serempak tanpa aba-aba. Seharusnya, Renjun tertawa terbahak-bahak-sampai suaranya habis dan perutnya terasa kram-tapi ada sesuatu yang mendorongnya keras untuk mencipta anak sungai di kedua pipi yang tirus.

Jeno meletup dalam rasa kaget kala melihat kilauan di pasangan binar Renjun. Pemuda bersurai segelap jelaga itu menangis keras nyaris meraung. Untung saja mereka sedang berada di rooftop, kalau tidak sudah habis Jeno dibabat fitnah melecehkan anak orang.

"Re-Ren, kamu kenapa nangis? Saya salah ngomong, ya?" gagu Jeno bertanya. Wajahnya terlihat panik.

"Kamu, sih!" protes Renjun disela-sela tangis sembari menyeka wajahnya yang basah dengan kasar. Jeno sampai ngeri melihat cara Renjun memperlakukan wajahnya yang kalau punya genre akan dikategorikan ke dalam manis.

Menanggapi hal tersebut, Jeno final mendakwa dirinya telah melakukan sesuatu yang salah. Dengan demikian, selanjutnya, pemuda dengan noktah cantik disudut mata kanan itu menunduk 45 derajat di depan Renjun.

hirap // norenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang