r²π - abadi

565 78 8
                                    

"Don't deny our r²π."

Terkadang ada momen di mana Renjun akan menghabiskan sebagian sekon dalam hidupnya untuk menatap rinai air hujan yang mengetuk kaca jendela apartemen kecilnya. Menyaksikan buliran air itu beriak kecil kemudian mengalir pelan di permukaan kaca. Pun dia ditemani serbuan melodi musik klasik yang mengalun lewat ponselnya.

Di momen itu pula, gerigi otaknya akan mulai tersentral pada satu manusia. Pada satu adam yang menghuni sebagian besar tempat di hati dan pikirannya.

Apakah Jeno mencintainya?

Ini bukan pertama kalinya keraguan itu menghampiri rongga dada Renjun. Bukan pertama kalinya dia terlarut-larut dalam pikiran negatif perihal kisah asmaranya yang semakin lama terasa semakin tidak bisa ia mengerti.

Ada yang hilang dari Jeno dan dia tidak tau apa.

Warna abu-abu masih memegang kendali penuh di langit manakala bel apartemen Renjun berbunyi nyaring. Menginterupsi suasana tenang yang sejak tadi hidup menyelimuti Renjun.

Renjun yang sejak tadi duduk bersila di atas sofa di dekat jendela lantas menurunkan kedua tungkai. Membawa raga mendekati pintu dan membukanya tanpa menunggu lebih lama lagi.

"Hai."

Wajah yang biasanya selalu menyematkan senyum sehangat susu cokelat di musim dingin itu memenuhi penglihatan Renjun.

Renjun menyambut dalam diam. Ia tak mau memaksakan seulas senyum meski yang paling tipis sekalipun. Ia meninggalkan Jeno di ambang pintu lalu kembali sofa berwarna putih itu. Membaringkan tubuhnya di sana.

"Kamu udah makan siang?" tanya Jeno lembut sembari melepas jaket yang ia kenakan.

"Belum," jawab Renjun tanpa melirik Jeno apalagi melempar pertanyaan balik. Ia memejamkan mata, mencoba terlelap, ingin melupakan kegundahannya untuk sementara.

Jeno menengok pada Renjun yang terlihat lebih diam dari pada biasanya. Kekasihnya itu tampak seperti terganggu dengan keberadaannya.

"Kamu gak apa-apa?" Jeno bertanya sembari memposisikan diri di lantai. Duduk menghadap Renjun yang berbaring di atas sofa.

"Gak apa-apa. Emangnya aku kenapa?" Renjun menyahut dengan nada malas. Matanya masih terpejam.

"Kamu gak mau cuddling sama aku? Hari ini aku gak bisa lama-lama loh," kata Jeno mencoba mencairkan suasana yang nampak membeku akibat suhu dingin yang dibawa oleh hujan. Laki-laki itu tersenyum, tapi di dalam senyumnya ada yang kurang.

Renjun membuka kedua kelopak matanya. Meringis miris dalam hati. Keraguannya semakin menjadi. Dan tanpa aba-aba, sebuah kalimat tanya meluncur lewat dua belah bibir itu dan melebur di udara.

"Jeno, kamu masih cinta sama aku?"

Suara yang selalu seperti lelehan karamel di kedua rungu Jeno itu kali ini terasa seperti jutaan jarum yang menusuk gendang telinganya. Pertanyaan sederhana namun entah mengapa Jeno tergugu kala mendengarnya.

Renjun hampir tertawa hambar melihat Jeno yang mendadak terdiam. Kekasihnya itu tak kunjung menjawab. Sedang musik yang terputar lewat ponsel Renjun memasuki titik klimaksnya. Menghentak-hentak.

Renjun mengelus pipi Jeno pelan lalu berucap, "Kamu pulang aja, ya? Aku lagi pengen sendiri."

Pernyataan Renjun serupa dengan ultimatum bagi Jeno. Mengancam eksistensinya. Ia menatap Renjun lamat-lamat, mencoba mencari kebohongan di dalam iris yang selalu berhasil menciptakan debaran keras di dalam hatinya.

"Jun..." Jeno ingin menolak. Ia masih ingin melihat fitur wajah manis serta memukau yang tiap dipandang selalu membuatnya jatuh cinta kembali itu.

"Jeno, please," mohon Renjun dengan suara nyaris bergetar. Pandangannya dia lempar ke titik mana saja, asal bukan rupa Jeno yang terlihat terluka dengan permintaannya.

hirap // norenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang