1 A.M - satu pagi

431 72 19
                                    


"Gue boleh bareng lo, No?"

Satu-satunya orang yang rumahnya searah dengan Renjun hanya Jeno seorang. Walau menumpang di mobil pemuda itu bukan pilihan bagus, Renjun mau tak mau harus melakukannya saat ini.

Jeno yang sedang merapikan kursi di ruangan yang baru saja menjadi lokasi rapat mereka melirik Renjun singkat. Menyadari bahwa hanya mereka berdua yang tertinggal di ruangan ini.

"Boleh," sahut pemuda itu sekadarnya. Setelah itu, dia bisa melihat senyum lega mengembang di wajah Renjun.

"Makasih, No." Renjun berucap tulus dibalas dengan anggukan kepala oleh Jeno Arkasa-pemuda pemilik kontur wajah tegas, hidung bangir, dan alis tebal bagai ulat bulu.

Setelah itu suasana cukup canggung dan hening. Saat Jeno sudah mengunci kembali pintu ruangan itu dan mereka berdua mulai berjalan beriringan di koridor yang sepi, tetap tak ada obrolan yang mampir.

Renjun mendadak merinding dengan suasana yang ada. Ingat kalau sudah pukul setengah satu pagi, bulu romanya makin meremang. Tanpa sadar ia kikis jarak antara dirinya dan Jeno. Sampai-sampai lengan telanjangnya bersentuhan dengan lengan Jeno yang dibalut jaket parasut.

"Kenapa?" tanya Jeno sekonyong-konyong. Suaranya yang sebenarnya tidak cukup kuat itu menggema di koridor karena kondisi benar-benar lengang.

Renjun menoleh pada Jeno lalu menggeleng sekilas. "Gapapa, No." Pemuda itu menggurat seulas senyum tipis.

Jeno lagi-lagi merespons dengan anggukan. Tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Ia bukan tipe pemuda pendiam, dingin, dan berekspresi datar yang berseliweran di dunia fiksi. Dia hanya Jeno Arkasa yang cerewet bila di dekat orang yang benar-benar akrab dengannya.

Dan Renjun Keyandi bukan salah satu dari mereka. Kendati dia dan si pemuda sudah saling kenal nyaris dua tahun akibat terjerumus dalam organisasi yang sama, keduanya tak sedekat itu. Walau sejak pertemuan pertama mereka, Jeno begitu berharap ia bisa dekat dengan Renjun.

"Lo gak masalah pulang jam segini?" tanya Jeno tiba-tiba saat mereka sudah tiba di area parkiran. Satu-satunya yang menghuni parkiran hanya mobil Audi merah mengkilap milik Jeno.

"Gak, kok. Kos gue fleksibel," jawab Renjun.

"Gue kira lo asli sini," kata Jeno lagi-lagi.

Renjun terkekeh ringan. "Gue anak rantau, No. Kalau mau ke rumah gue mesti naik pesawat dulu," ujarnya luwes.

Jeno menaikkan kedua alisnya singkat. Tak menyangka kalau Renjun rupanya tipe pemuda yang cukup blak-blakan dan apa adanya.

"Ngomong-ngomong, lo manggil gue lain sendiri, ya." Jeno entah mengapa secara naluriah mulai terus mengajak pemuda yang sebenarnya sudah lama ia perhatikan itu.

"Maksud lo?"

"Orang-orang biasanya manggil gue 'Jen'. Tapi lo keliatan lebih senang dengan 'No'."

Renjun tertawa pelan. "I'm one of a kind."

Mendengar tuturan itu, Jeno ikut tertawa. Menggeleng-geleng takjub dengan kepribadian Renjun yang selama ini tak pernah ditangkap oleh radarnya.

Percakapan mereka terjeda saat keduanya masuk ke dalam mobil. Renjun otomatis memakai sabuk pengaman, diam-diam dia melirik Jeno yang tengah menghidupkan mesin.

"Boleh gue duduk bersila?" tanya Renjun ragu-ragu. Kalimatnya yang mengejutkan membuat Jeno menengok padanya.

Jeno tersenyum tipis, memendam kagum. "Senyaman lo aja."

Renjun tersenyum jenaka. Detik selanjutnya, kedua kakinya ikut naik ke atas jok mobil dan diposisikan menyilang. Renjun nampak begitu menikmati posisinya itu.

hirap // norenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang