9

3.2K 345 91
                                    

Selamat Membaca...
.
.
.

Dikuil suci, Hinata bersimpuh. Berdoa pada Kami-sama, agar dirinya diberi kan jalan keluar yang terbaik. Hinata sudah memutuskan untuk tidak menggugurkan janinnya. Bagaimanapun janinnya tidak bersalah. Biarlah, Hinata menanggalkan cita-citanya demi bisa menghidupi adik dan anaknya. Ia tidak akan memberitahukan hal ini pada Naruto. Hinata juga sudah merancang kata untuk bicara dengan Naruto, untuk melepaskannya. Hari ini, hari terakhir Hinata berada di kota terpencil, ia akan pulang dan memberitahukan kabar ini pada Hanabi. Semoga, Hanabi tidak kecewa dengan keputusannya.

Didalam bus, Hinata melamun memikirkan bagaimana kedepannya. Ia memang sudah mengambil keputusan, namun semua pasti akan sulit. Sudah dipastikan, dirinya akan dikeluarkan dari sekolah dan itu sudah jelas jika Hinata tidaka akan memiliki ijazah menengah atas.

Hinata mengelus perut ratanya, ia tersenyum samar walau masih sedikit perih. Menerima semuanya memang sedang Hinata lakukan, wajar kan apabila ia masih sedikit merasakan perih serta sedikit sedih.

"Tumbuh sehat ya, kau hanya harus tumbuh sehat." Ujar Hinata pelan. Kepalanya kembali ia putar menghadap hamparan keindahan ciptaan Tuhan. Hinata sadar, mungkin ini salahnya. Bukankah semua perbuatan akan ada konsekuensinya?

Pergi sangat jauh ingin sekali Hinata lakukan, namun sekolah sang adik hanya mengandalkan beasiswa yang menghalangi Hinata untuk pergi jauh. Adiknya sudah duduk di kelas sembilan sekolah menengah pertama, tahun depan Hanabi akan lulus dan kini Hanabi sedang berusaha merebut beasiswa dari Konoha High School. Itu keinginan terbesar Hanabi saat ini. Hinata tersenyum kecut, karena kemiskinannya ini, ia tidak bisa menikmati yang namanya masa indah saat sekolah menengah atas, yang kata kebanyakan orang adalah masa-masa paling indah. Sejak orang tuanya meninggal, Hinata lah yang mengambil alih semua tugas kedua orang tuanya untuk membesarkan, menjaga, dan bertanggung jawab atas Hanabi.

Hinata yakin, seiring waktu berlalu semua akan menemukan titik bahagia untuk dirinya. Hitam putih dihidupnya akan menjadi sebuah cerita indah, nanti ia akan menceritakan kisahnya pada anak dan cucunya kelak. Saat ini, mengeluh tidak ada gunanya, lebih baik berfikir bagaimana tetap hidup kedepannya dengan lebih baik untuk dirinya, Adiknya dan Anaknya.

"Kita bisa ya, sayang."

🌾🌾🌾

Kabar yang begitu buruk bagi Namikaze Naruto, ketika ia mendengar Hyuga Hinata dikeluarkan dari sekolahnya. Ia menuju ruang kepala sekolah, Naruto hanya perlu bertanya pada Kakashi, apa penyebab Hinata dikeluarkan dari sekolah.

Kakashi yang melihat Naruto berdiri diambang pintu dengan menatap tajam dirinya membuat pria bermasker itu menghela nafas. Ia bersiap menerima amukan sang bungsu Namikaze.

"Masuklah." Naruto menutup pintu dengan kencang hingga tembok pun bergetar karenanya.

Tatapan itu menusuk mata Kakashi. "Tenanglah, aku akan jelaskan." Naruto sama sekali tidak bergerak ia masih tetap menatap tajam Kakashi.

"Hinata hamil." Ucapan Kakashi bagai petir untuk Naruto. Hinata hamil dengan siapa? Sudah lama ia tidak menyentuh wanitanya. Tangan Naruto mengepal erat.

Kakashi yang jelas melihat amarah tertahan Naruto pun mengeryit, "bukan anakmu?" Tanya Kakashi santai. Namun, lagi-lagi tidak ada tanggapan dari Naruto. Ia tahu, remaja saat ini sudah biasa melakukan hubungan layaknya suami istri.

"Aku tidak mengeluarkannya, ia datang kesini dan mengakui jika dirinya sedang hamil. Hinata tau peraturan sekolah, ia keluar demi menjaga nama baik sekolah. Begitu katanya."

Kepala Naruto terasa pening, dunia didepannya seakan berputar. Mendengar Hinata hamil membuat Naruto mual seketika. Iris birunya tenggelam oleh kelopak mata tan miliknya.

LOVE DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang