Sweet : 01

12.7K 613 54
                                    

"Inget ya Nan, kamu udah kelas dua belas, jangan main-main. Kegiatan yang gak penting-peting amat gak usah ikut, mending belajar kan? Les juga jangan molor. Biar nanti masuk universitas bagus, lulus dengan nilai bagus, dapet kerjaan bagus, kayak kakak-kakak kamu tuh. Ya?"

"Hmm." Pandangannya terpaku pada tali sepatu yang sedang diikat. Kinan baru saja siap berangkat ke sekolah, masih pagi, tapi wanti-wanti dari sang ibu sudah menyertai.

"Uang masih ada kan?"

"Ada. Aku mau berangkat dulu Bu."

"Ya udah, hati-hati. Nanti Ibu telpon lagi."

"Iya." Jawabnya singkat, lalu menghela napas. Akhirnya telpon dengan sang ibu berakhir juga. Lagu yang sempat terhenti karena ada telpon tadi pun sudah menyala lagi. Meninggalkan rumah kontrakan, Kinan berangkat ke sekolah.

Sudah sejak kelas sepuluh Kinan hidup mandiri di kos-kosan bergaya rumah kontrakan. Hampir semua penghuninya mahasiswa, hanya Kinan satu-satunya yang masih sekolah. Bukan karena apa, memang sejak dulu Kinan juga kakak-kakaknya dilatih mandiri. Menurut orangtuanya, kalau tinggal bersama orangtua, anak malah manja, nanti malah malas belajar dan sebagainya. Ya itu pemikiran kedua orangtua Kinan, jadi ia dan kakak-kakaknya menurut saja. Prestasi nomor satu bagi mereka. Main boleh, tapi belajar lebih penting.

Sekolah di sekolah unggulan bagi keluarga Kinan pun bukan jadi hal yang terlalu dibanggakan. Rasanya percuma kalau hanya sekolah di sekolah unggulan tapi prestasi tidak unggul. Kinan bukan murid unggulan atau terpintar di sekolahnya, tapi ia terus berusaha untuk tetap berada di lima besar di angkatanya. Setidaknya dengan itu, orangtua Kinan tidak perlu merasa kecewa.

Kini di kelas dua belas sejak tiga bulan lalu, orangtua Kinan sudah mendaftarkan Kinan untuk ikut belajar tambahan di luar sekolah sejak awal masuk kelas dua belas. Ya di sekolah menyediakan, Kinan ikut serta, tapi di luar sekolah juga tidak ketinggalan. Jadi memang kegiatan Kinan hanya belajar, sesekali ikut ekskul basketnya kalau ada waktu senggang. Kelas dua belas memang sudah tidak bisa main-main lagi.

"Nan!"

Matanya melirik, dengar namanya samar-samar dipanggil. Kinan harus melepas airpodsnya dan menoleh, untuk mencari tau siapa yang memanggilnya.

"Bareng yuk!"

"Oh." Kinan agak mencerna, cengiran laki-laki teman seangkatannya itu merekah lebar di atas motor. "Gak deh Gas, gue gak bawa helm. Lo duluan aja, lagian bentar lagi busnya dateng."

"Yakin?"

"Iya, udah sana. Lo ngalangin orang tuh."

"Umm, ya udah deh, Gue duluan nih. Gue tunggu di sekolah ya, kita lanjut ngomongin yang kemaren."

Kinan sekadar mengacungkan jempol, ia bangkit dari kursi halte dan lekas menepuk bahu temannya, memberi isyarat untuk lekas melaju karena bus yang Kinan tunggu sejak tadi sudah tiba. Bagas, teman Kinan tadi hanya terkekeh-kekeh seraya kembali melenggang di jalan besar.

Kinan kembali memakai airpodsnya, naik ke bus biru bertuliskan DAMRI, ia duduk di kursi kosong terdekat dan memejamkan mata. Mungkin tidur lima belas menit tidak ada salahnya. Toh Kinan tidak perlu takut kelewatan turun, banyak siswa dari sekolahnya menggunakan trasnportasi yang sama, kondekturnya juga setia berteriak memberitau tiap sampai di titik-titik pemberhentian.

Soal kendaraan ini juga diberlakukan pada kakak-kakaknya Kinan semasa sekolah dulu. Tidak ada kendaraan pribadi sampai sudah menghasilkan uang sendiri. Ya, begitu kuliah pun tidak boleh ada kendaraan pribadi. Bisa dibilang, memang didikan orangtua Kinan keras dan tegas, apa yang mereka katakan harus dilakukan. Tidak ada kata tidak. Kinan dan kedua kakaknya terlatih dengan itu.

Lack of Sweet (BL) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang