6

763 121 35
                                    

Sepertinya cuaca pagi hari kali ini cukup supportif di hari libur Agensi Detektif Bersenjata. Walaupun disebut hari libur, Fukuzawa tidak benar-benar libur dari berkas-berkasnya. Dan juga, tidak ada yang diharapkan oleh [Name] dari hari libur pria kaku itu.

[Name] menikmati cuaca pagi harinya dengan membuat sulaman bersama kembar Fukuzawa. Di sela-sela kegiatan mereka juga diselingi senda gurau.

Wanita dengan kimono biru langit tak sengaja mengarahkan pandangannya pada pipi sebelah kanan [Name]. "Luka di pipi [Name]-sama waktu itu sudah tidak ada lagi apalagi yang di bibir," lontar Hairi heran.

Wanita yang dilabeli istri oleh Fukuzawa itu mulai meraba-raba pipinya. Benar-benar terasa halus dan tidak ada rasa pedih atau semacamnya.

"Termasuk cepat ya dalam satu minggu lebih sudah sembuh dari luka." Giliran Aira yang menimpalinya.

Heran. [Name] juga ikut heran. "Ah iya, kalau dipikir-pikir yang pipi cepat sembuhnya. Padahal kadang aku lupa mengobatinya kecuali bibir, karena aku risih dengan bibir kering dan luka"

"Atau jangan-jangan..." Hairi menggantungkan ucapannya kemudian melirik ke arah kembarannya, membuat wanita muda di sebelahnya memiringkan kepala.

"... jangan-jangan Yukichi-sama yang mengobatinya," sambung Aira dengan riangnya mengalahkan sang adik. Wanita yang biasanya tampak kalem itu bisa-bisa girang melebihi sang kembaran jika yang dibahas tentang pasutri di rumah itu.

[Name] langsung membantah pernyataan tersebut. "Mana mungkin." Ia kembali berfokus pada sulamannya.

"Mungkin saja ketika [Name]-sama tidur, Yukichi-sama diam-diam mengobati lukamu," sanggah Hairi tidak menyerah.

Terdengar begitu naif di telinga [Name]. Fakta bahwa suaminya selalu mengingatkannya untuk mengobati luka-lukanya, tetapi jikalau pria itu sampai mengobatinya saat dia tertidur lelap sangatlah mustahil.

"Kalaupun diobati saat aku tidur, seharusnya aku sudah terbangun waktu itu juga." Sekali lagi, ia membantahnya dengan mengulas senyum tipis.

Ayolah dua nenek, jangan sampai membuat jantung wanita muda satu ini mendadak berdebar kencang.

Di sisi lain tempat di mana ruangan yang begitu senyap dan tenang, namun sesekali sedikit kebisingan dari luar masih dapat terdengar. Pria yang berumur 40 tahunan itu menata sekumpulan kertas dokumennya menjadi satu usai merampungkannya. Entah aktivitas apa lagi yang akan dilakukan setelahnya, yang pasti ia hendak keluar dari ruang baca.

Saat berjalan menyusuri lorong rumah, tak sengaja dirinya menemui tiga wanita tengah bercengkerama ria.

"... aku sebenarnya suka sekali dengan kimono ini, karena motifnya yang cantik dan warnanya cocok denganku. Tetapi menurutku memakai hakama sangat menarik." Iya, itu suara curahan hati dari istrinya sendiri. Sekarang Fukuzawa berakhir menguping pembicaraan mereka dari balik dinding.

"Kalau begitu, kenapa tidak bilang pada Yukichi-sama saja?" tanya Aira mengusulkan.

Dengan tatapan sendu [Name] yang memandangi sulamannya, ia menutur, "Aku tidak enak jika harus meminta sesuatu pada Yukichi-san. Walaupun dia sering sekali menanyakan apa yang ku inginkan, tetapi aku memilih untuk menjawab tidak. Apalagi setelan hakama bukan barang yang murah. Jadi aku memutuskan akan membeli dengan uang pesangon ku"

Pantas saja istrinya selalu mengatakan 'tidak' jika ditanya. Fukuzawa termenung sejenak, dengan mata terpejam sambil mengusap dagunya. Lantas ia mengambil langkah putar balik meninggalkan wanita-wanita tersebut.

Aira melamun sebentar. Sekonyong-konyong wanita dengan kimono merah muda itu menanyakan sesuatu secara acak. "Jika memikirkan tentang pria, siapa pria yang ada dipikiran [Name]-sama?"

Epiphany | Fukuzawa YukichiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang