11

713 99 28
                                    

Urusan laporan, sudah beres. Urusan surat-surat dari perusahaan, juga sudah beres. Semua tugasnya lunas. Kini waktunya pria 40 tahunan itu beranjak pulang ke rumahnya, selagi surya belum ditelan bumi. Tiba di depan pintu keluar, ia malah berpapasan dengan pemuda yang memiliki potongan rambut miring sewarna abu-abu dengan sedikit helai berwarna hitam.

“Shachou? Shachou akan pulang?” tanya pemuda itu.

“Ya, aku akan pulang. Jangan buat dirimu lelah, Atsushi. Jika pekerjaanmu telah selesai, segeralah pulang.”

“Baik, Shachou,” balas Atsushi tersenyum simpul.

Fukuzawa kembali melebarkan buaian kakinya dengan tempo yang agak cepat. Sungguh tidak sabaran. Bahkan saat telah menapakkan kaki di mahligainya, ia buru-buru menuju kamarnya. Nahas bilik kamarnya tertutup rapat.

“[Name], apa kau di dalam? Boleh aku masuk?” Pria itu praktis memberi ketukan pada pintu untuk beberapa kali, sambil memanggil nama istrinya.

“Masuk saja, Yukichi-san,” jawab sang istri dengan suara mezzo-sopran.

Pintu pun terbuka dan, Wah! Fukuzawa dibuat takjub dengan penampilan istrinya yang terpantul pada sebuah cermin, sedang merapikan surai panjangnya—tak lupa dengan penjepit kesayangan. Mengenakan celana highwaist, yang satu set dengan blazer berwarna putih, juga dalaman blouse hitam pendek.

Wanita itu lekas membalikkan badannya menghadap sang suami

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Wanita itu lekas membalikkan badannya menghadap sang suami. “Bagaimana?” tanyanya menagih pendapat.

Fungsi netra pak tua itu untuk berkedip hampir tidak ada. Baris kalimat, bukan, satu kata saja yaitu 'cantik' katakanlah, susah untuk tertanggal di tenggorokannya. Bergeming cukup lama, akhirnya ia dapat bersuara, “Cocok. Memang seperti dirimu.”

“Terima kasih.”

Jika wanita lain, rata-rata mereka akan memakai dress se-imut mungkin untuk berkencan. Tetapi [Name], ia menunjukkan sisi wanita kariernya.

“Ternyata kau sudah siap lebih awal.” Fukuzawa mulai beringsut, mengikis jarak dengan wanitanya. Seperti biasa, semerbak harum bunga lavender tidak pernah absen pada indra penciumannya.

“Namanya etika. Jika membuat janji dengan seseorang, lebih baik bersiap lebih awal,” tukas [Name]. “Ditambah, wanita butuh waktu yang lama untuk bersiap. Kau juga segera membasuh diri, Yukichi-san. Aku yakin, pria sangat cepat dalam hal bersiap-siap.”

Tanpa basa-basi, pria itu segera melucuti pakaiannya dari balik byobu. “[Name], boleh aku minta tolong carikan pakaian?”

Selama mereka menikah, belum pernah [Name] menyiapkan pakaian untuk sang suami. Dan sekarang saatnya ia beraksi. Perlahan-lahan bibirnya berkeluk membentuk sebuah senyuman. “Ya, akan ku carikan,” serunya.

10 menit berselang, Fukuzawa keluar dari balik byobu dengan mengenakan setelan kemeja full of black. Alisnya menukik, seakan berbicara bahwa kemeja itu bukanlah yang tepat.

Epiphany | Fukuzawa YukichiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang