9

702 107 37
                                    

[Name] terbangun dari beberapa bunga mimpinya. Bahkan mimpi itu masih teringat jelas di kepalanya. Bagaimana ia bermimpi bibirnya bersatu padu dengan bibir suaminya penuh romansa. Seketika rona merah menjalar di wajahnya, dan jantungnya seperti sedang diajak berpacu. Ia langsung menyampuli rupanya dengan tangan bersama napas yang tidak karu-karuan.

“Itu hanya mimpi,” gumamnya demi membuat keyakinan. Ia menghembus napas panjang, memposisikan segalanya tetap normal. Dan andaikan mimpi itu adalah nyata.

Andaikan mimpi itu adalah nyata.

Wanita itu mengintip ke arah pintu dan ternyata sudah disambut oleh cahaya sang surya pagi. Kicauan burung terdengar saling bersahut-sahutan. Ia mulai duduk bersandar, kemudian menempelkan tangannya pada dahi dan leher. Panasnya sudah turun tetapi tubuhnya masih terasa lemas. Tak lama suara langkah kaki berjalan menuju kamarnya, sontak [Name] tercengang menganga melihat sang suami membawa nampan berisi sup, nasi, dan beberapa lauk pauk yang amat banyak. Seperti biasa, pria itu meletakkannya di atas laci.

“Yukichi-san, ini di luar porsi makan harian ku,” kata [Name] dengan tampang terpaksa.

“Aku tidak menerima komplain, hatchii!!” jawab Fukuzawa datar bersamaan keluarnya bersin. “Kalau ingin sembuh, kau harus makan banyak. Aku akan tetap di sini, hatchii!”

Lantas ia duduk di tepi ranjang, berakhir mereka sama-sama tertegun dalam satu ruang. [Name] terus memasang mata pada pria di hadapannya, menantikan sebuah respons.

“Apa?” balas pria itu sambil menutupi hidungnya yang agak kemerahan. “Kau tidak mau makan? Kau tidak suka dengan makanannya? hatchii!”

“B-bukan begitu. Iya, ini akan ku makan.” Segera wanita muda itu menyabet sarapan yang berada di dekatnya.

Yukichi-san, ayo cepat bilang, 'mau ku suapi?', seperti kau membawakan sarapan untukku saat bertengkar waktu itu,’ batinnya penuh pengharapan.

Sembari menyantap hidangan, ia memandangi suaminya yang bersin terus-terusan, dengan jeda sekitar lima sampai delapan detik. “Apa kau baik-baik saja?” tanyanya

“Aku baik-baik saja, ini hanya bersin biasa. Mungkin karena agak dingin, hatchii!”

[Name] mengangguk paham. Ia tetap melanjutkan sarapannya hingga habis tak bersisa, meski sebenarnya tidak nyaman terhadap pengawasan Fukuzawa. Perutnya jadi menggembung karena dipenuhi makanan. Mungkin, jika satu suap lagi masuk, perutnya akan meledak.

“Kau harus banyak-banyak istirahat, [Name].” Fukuzawa beranjak keluar membawa bekas sarapan sang istri.

“Kau juga, jaga dirimu baik-baik Yukichi-san,” ucapnya membuat langkah kaki pria itu ter-jeda sementara, ia mengangguk lalu kembali menyambungkan langkahnya.

.
.
.

Berangsur-angsur tubuh [Name] membaik dan fit kembali, berkebalikan dengan Fukuzawa. Tubuhnya panas mendidih, membuatnya harus berbaring di kamar. Keringat deras terus menggelincir, napasnya terburu-buru, dan sebelah lubang hidungnya tersumbat. Pagi itu membuat Fukuzawa tidak dapat beraktivitas sebagaimana biasanya.

Sebagai istri, [Name] melakukan tugasnya merawat sang suami yang tengah terbaring sakit. Handuk kecil yang ia genggam, diperasnya sekuat mungkin untuk meluruhkan air-air yang terserap. Lekas ia menaruhnya pada dahi pria berambut perak itu dan mengelap keringat yang timbul pada pelipis dan pipinya. Netra Fukuzawa menatap paras istrinya yang sendu.

“Jangan merasa bersalah,” ujarnya membuat [Name] menoleh ke arahnya. “Anggap saja ini cobaan. Kau sakit juga bukan karena kau yang mau, kan? Lagi pula kita juga tinggal satu kamar”

Epiphany | Fukuzawa YukichiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang