02- Luka Baru

13 1 0
                                    

Memang, lebih baik berbicara dengan benda mati.
~Gadis Sekala Mentari

......

Saat itu, aku masih positive thinking.

Aku berpikir, mungkin mereka sedang membicarakan aku yang datang sedikit terlambat. Karena biasanya, aku datang lebih awal dari mereka.

Tetapi, setelah aku sampai di depan pintu kelas yang sedikit terbuka, aku mendengar percakapan mereka selanjutnya.

"Emang ngeselin banget si Gadis." suara Katya

"Gue juga capek, kalau harus nemenin Gadis ke UKS setiap upacara." suara Safna

"Iyaa bener banget na, gue juga kesel kalau bengeknya Gadis udah kambuh. Soalnya kalau Gadis sakit, pasti kita yang direpotin!"

Di depan pintu kelas, aku masih berdiri dengan kaki yang bergemetar lemas. Lalu, aku mencoba untuk mendengar lagi semuanya.

"Iya Katya, untungnya aja hari ini ga ada upacara. Jadi, kita ga perlu repot bantuin si Gadis kalau pingsan, karena darah rendahnya itu!" ujar Safna

"Bener banget, Na.. haha," jawabnya sambil tertawa.
"Kalau aja Gadis ga sepintar sekarang, kita juga mikir ulang kali yah mau temenan sama dia!" ucapan terakhir Katya, yang semakin membuatku sakit hati.

Mereka masih terus membicarakan tentangku. Tapi, aku sudah tak sanggup untuk tetap berdiri di sana, mendengarkan semuanya.

Aku memang lemah, untuk menerima kenyataan yang sudah menjadi takdirku.

Bagiku, ini adalah luka baru yang menyakitkan.

Kemudian, aku berfikir untuk tidak jadi masuk ke dalam kelas. Karena kali ini, aku tak ingin melihat wajah mereka. Kalau aku memaksakan untuk masuk, takutnya aku tidak bisa menahan emosi. Jadi, lebih baik aku pergi tanpa sepatah kata apapun.

Dengan kaki yang semakin lemas, aku mulai menuruni anak tangga secara perlahan. Karena tidak ingin mereka tahu, kalau aku ada di sini, mendengar semuanya.

Untung saja, hari itu semua guru sedang rapat di ruang kepala sekolah. Jadi, aku tak perlu izin ke piket sekolah, atau pun ke satpam.

Setelah berhasil turun dari tangga, aku langsung berlari ke arah gerbang sekolah. Di pos satpam, aku melihat ada pak Cipto yang sedang menyeruput kopi hitamnya.

"Eh, neng Gadis. Baru masuk kok keluar gerbang lagi?" tanya pak Cipto, satpam terlama di sekolahku.

Pertanyaan pak Cipto, memang terdengar cukup jelas di telingaku. Akan tetapi, mulutku sudah tidak mampu berkata apapun lagi. Karena di dalam pikiranku, hanya suara Safna dan Katya yang terus berenang di kepala. Jadi aku terpaksa hanya diam, tidak menjawab pertanyaan pak Cipto.

Kemudian aku tetap berjalan, dengan tatapan kosong di sudut mataku. Setelah ke luar dari pintu gerbang sekolah, aku seperti orang linglung yang tidak tahu harus pergi kemana. Karena, aku pun tak mungkin kalau harus kembali ke rumah.

Namun sepanjang jalan, aku masih terus kepikiran dengan semua ucapan Safna dan Katya. Aku benar-benar terkejut, dan masih tidak percaya dengan apa yang barusan aku dengar. Karena mereka sahabatku, selama hampir 3 tahun. Aku mengenal mereka dengan baik. Bahkan, mereka juga yang selalu menawarkan dirinya untuk membantuku saat sakit.

Tapi ternyata, semua itu palsu.

Ternyata memang benar, tidak ada lagi orang yang tulus di dunia ini. Tidak ada lagi, orang baik tanpa maksud tertentu. Juga, sudah tak ada lagi sahabat.

"Semuanya munafik," pikirku saat itu.

Setelah meratapi semuanya, sambil terus berjalan. Aku memutuskan untuk pergi ke pantai seberang sekolah. Lalu, aku ingin meluapkan semua emosiku di sana. Karena saat ini aku benar-benar sendirian, sudah tidak ada lagi tempat bercerita. Mungkin pantai, yang akan menjadi sahabat baruku.

Karena, memang lebih baik berbicara dengan benda mati, daripada sama orang hidup tapi hatinya mati.

Tak terasa, aku sudah sampai di pantai yang jaraknya lumayan dekat dari sekolahku. Karena, sekolahku memang berada di daerah pantai-pantai yang sangat luas.

Berjalan seperti orang depresi, dengan rambut yang terurai berantakan, dan masih memakai seragam putih abu. Kondisi itu, membuatku jadi sorotan orang sekitar. Tapi, aku tidak peduli. Terserah orang lain mau berbicara apa tentangku. Karena sejatinya, mereka tak akan pernah tahu apa yang sudah aku lalui.

Setelah sampai di pantai itu, aku langsung meluapkan emosiku. Semua pikiran tentang ucapan Safna dan Katya memenuhi kepalaku, seperti benang kusut. Kemudian akhirnya, aku langsung berteriak sekencang-kencangnya. Aku benar-benar terluka dengan semua ini.

Aku tetap berteriak sangat keras, tanpa peduli siapa yang ada di sekelilingku.

Dari sudut mata, aku melihat seperti ada orang di depanku. Ia seperti menatap ke arahku. Tetapi, karena aku masih lumayan jauh dari tepi pantai, aku pun tidak terlalu memperhatikan dan melihatnya dengan jelas. Pandanganku kabur saat itu. Bahkan, napasku juga sudah semakin sesak.

Kemudian, aku mengeluarkan semua unek-unekku dengan suara yang keras, serta napas yang terengah-engah.

"Kenapa mereka munafik!
"Bisa-bisanya mereka setoxic itu! Berarti selama ini, gue cuman mengenal topengnya aja. Ternyata, aslinya itu mereka busuk!!"

"Sejak kapan mereka jadi kaya gini?! Atau jangan-jangan, dari awal mereka emang ga tulus temenan sama gue!"

"Kalau kenyataan nya sepahit ini, kenapa ga dari awal aja sih mereka jujur.. Kenapa ga bilang aja ke gue, kalau mereka ga suka berteman sama gue!! Busuk tau ga kalian!" sambil terus berceloteh, aku mulai melangkahkan kakiku ke arah tepi pantai.

"Salah gue apa sih Safna, Katya? Coba kasih tau gue!!" aku terus berjalan, dan melihat ke atas awan yang cerah, sambil bertanya pada diri sendiri. Karena aku masih tidak paham, kayak mimpi rasanya dikhianati sahabat sendiri.

Luka baru yang aku rasain ini, membuatku semakin terluka parah. Aku tidak tahu, apakah masih sanggup untuk bertemu mereka kembali.

Padahal, Safna dan Katya sudah aku anggap seperti saudara sendiri. Apapun akan aku lakukan demi mereka. Mereka juga, satu-satunya penguat aku untuk tetap bertahan sampai sejauh ini. Karena, disaat keluarga aku semuanya membisu, semua sunyi, tapi mereka yang terus membuatku tertawa.

Tapi sekarang, semuanya sudah berbeda. Aku sudah mengetahui semua kebusukan mereka. Mereka memang pandai menyembunyikan semuanya.

Pikiran itu, yang terus berkecamuk di dalam benakku.

Ketika aku terus berjalan lambat, dan semakin dekat dengan tepi pantai, aku tidak sengaja tersandung batu yang lumayan besar. Kemudian, aku terjatuh ke depan, dan keningku membentur pecahan cangkang kerang di pantai itu.

Bugghh!!

"Awhh.. awh.." tanganku meraba kening yang mulai mengeluarkan sedikit darah.

Lalu, aku terdiam sejenak sambil merasakan sakit di keningku. Tapi, sakit ini tidak seberapa dibanding luka karena Safna dan Katya.

Kemudian tiba-tiba, penyakit asmaku semakin parah. Napasku juga sudah tidak terkontrol. Dan lebih parahnya lagi, aku lupa bawa inhaler, karena tadi buru-buru berangkat sekolah.

"Mungkin, aku akan berhenti bernapas saat ini juga." pikirku.

Tapi ternyata, aku salah.

Karena, tiba-tiba ada orang yang menghampiriku. Dan, dia membersihkan luka di keningku, yang terkena pasir pantai.

"Heyy, ngga seharusnya kamu kayak gini." kata laki-laki itu.
"Jangan biarin air mata kamu mengalir setetes pun, hanya karena orang ga penting kayak mereka!" katanya.

Aku benar-benar kaget. Kenapa dia bisa tahu, tentang semua yang aku alami sekarang.

Karena pandanganku yang semakin buram, jadi aku tidak bisa melihat jelas wajahnya. Walaupun mungkin, orang itu berjarak sangat dekat dengan wajahku.

Hanya satu yang kuingat.

Senyuman laki-laki itu, membuatku sedikit tenang.

Terima kasih untuk yang sudah membaca❤❤

Apakah laki-laki itu Langitku?
~Gadis Sekala Mentari.

Langit Nan MendungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang