1. Pak Tua dan Tas Merah

52 15 3
                                    

BATAVIAZARTS, 29 MARET 2197

PADA AKHIR MUSIM HUJAN, aku keluar rumah untuk membeli beberapa bahan makanan atas perintah ibuku, meski sebenarnya kaki-kaki panjangku sangat malas bergerak. Kemarin aku baru saja mencoba lapangan baru di dekat mal tempatku gemar menonton sabung ayam dulu. Aku kelelahan setelah bermain tiga babak kasti bersama anak-anak tidak dikenal yang kebetulan juga sedang ingin merasakan sensasi rumput baru nan segar. Sejujurnya aku merasa ini pembangunan yang sia-sia, orang-orang lebih sibuk daripada abad-abad sebelumnya, dan segalanya yang berbentuk virtual memegang kendali lebih banyak dari pemerintah itu sendiri. Aku salah satu dari sedikit orang yang masih berusaha melakukan hal-hal yang berlawanan, seperti bermain kasti sampai lututku memar.

Yeah, setidaknya aku tidak lagi merasa stres setelah melihat lapangan hijau yang lebih menarik dari tumpukan tugas sekolah. Langkah-langkah kaki di sekitarku tak banyak terdengar. Alih-alih berjalan kaki, orang-orang lebih suka menggunakan kendaraan-kendaraan terbang dan memenuhi langit seperti sampah ruang angkasa. Membosankan.

"Ren!"

Suara cempreng familier yang entah dari mana asalnya memanggilku dengan keras. Padahal aku sudah susah payah berjalan kaki dengan tenang daripada naik papan terbang, bisa-bisanya temanku yang satu ini menemukanku. Kuharap dia benar-benar datang sendirian.

Aku mengangkat kepala, sesuai dugaanku dia tepat di atasku--terlalu tepat dibatas kepalaku. Dia perlahan menurunkan papan terbangnya. Aku segera mundur untuk menghindari benturan karena aku yakin kepalaku bisa terluka karena kecerobohannya mendarat.

"Duh, hampir kena." Kalau selalu hampir kena, apa itu bisa disebut kebetulan ya? Dasar ceroboh. "Kamu tumben enggak pakai papanmu, Ren?"

Dia mengiringi langkahku begitu turun dari papan dan mengecilkan ukurannya sebelum dimasukkan ke dalam saku. Raut senangnya terus menunjukkan sorot penuh pengharapan. Aku yakin dia sedang ada maunya.

"Ren! Kamu tahu enggak?"

"Enggak, tuh," jawabku tanpa minat.

Laras mengatupkan bibirnya kesal. "Juno mau mengadakan pesta musim kemarau di rumahnya, Ren!"

Mendengar itu, aku sempat berhenti sesaat. "Oh, benarkah?"

Laras lagi-lagi menunjukkan emosi kesal, kali ini dahinya mengerut dalam. "Oh astaga. Punya teman seperti kamu memang melelahkan ya." Dia membuatku berhenti berjalan dengan menghalangi kakiku. "Tunjukkan sedikit antusiasmu, dong!"

Aku menghela napas besar. "Baiklah-baiklah, kapan pestanya berlangsung? Di mana lokasinya? Habis terbentur batu mana lagi si norak itu sampai membuat pesta musim kemarau begini?" Lagi pula kupikir pesta musim kemarau itu terdengar konyol, buat apa kedatangan cuaca panas dirayakan? Dia mau lihat cewek-cewek pakai bikini, ya? Ada-ada saja si bodoh satu itu.

"Bulan April nanti! Di kolam renang belakang rumah Juno. Kamu harus datang sebagai MC, ya!" Aku melotot horor pada Laras yang tiba-tiba sudah mau pergi lagi setelah mengeluarkan papan terbangnya. Dia pasti mau kabur.

Aku menarik lengannya sebelum menyentuh kemudi papan. "Kamu mau menjadikanku tumbal, ya?" tanyaku kesal. "Kenapa enggak Juno sendiri, sih, MC-nya?"

Laras meringis kebingungan. "Ka-katanya ada yang harus dia lakukan. Seperti menemui semua tamu, begitu. Jadi kamu saja ya yang jadi MC. Kamu kan ganteng, pasti semua orang mau mendengarkanmu, kok."

Mau apa lagi dia?

"Bye, Ren!" Aku lengah dan meloloskan Laras begitu saja ketika otakku masih memutar-mutar jawabannya tadi.

Lagi-lagi mereka akan melakukan sesuatu yang hanya akan menyulitkanku. Mereka hanya peduli dengan daftar hal-hal gila yang bisa dilakukan untuk menikmati masa sekolah. Terkadang aku berpikir untuk segera membuang mereka kalau saja aku sudah benar-benar tidak butuh dengan mereka. Semoga saja aku masih tahan dikelilingi dua bocah sangklek itu sampai tahun depan.

Sensus PendudukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang