Atsa telah menjadi teman sekaligus dokter bagiku, walaupun setelah hari itu aku jarang memimpikan mimpi buruk itu lagi tapi aku terus mengunjungi Atsa untuk menceritakan apa saja yang aku jalani setiap harinya, Atsa bilang aku sudah lebih baik hanya saja aku bisa lebih baik lagi katanya.
“Kau perlu mencari teman kencan lagi.”
“Aku tidak ingin dalam masalah lagi.”
“Tapi kau perlu.” Katanya tegas kali ini.
“Tidak untuk sekarang, sebentar lagi liburan kuliahku berakhir dan aku akan disibukkan oleh tugas-tugas kuliahku lagi, setidaknya aku tidak perlu memikirkan hal-hal lain.”
“Baik, aku tidak akan menyuruhmu untuk mencari tapi paling tidak kau bisa membuka hatimu lagi, aku bisa bilang bahwa kau membutuhkan orang lain yang bisa mengerti dirimu selain keluargamu dan teman-temanmu.. dan juga aku.” Kali ini Atsa benar-benar serius mengatakannya.
“Ini penting untukku?.”
“Kurasa iya, setidaknya aku akan berada bersamamu selama kau belajar untuk mengahadapi semuanya sendiri. Paling tidak sampai semuanya selesai kalau kau mau.”
“Begitu?” kataku meyakinkan diriku sendiri, Atsa menjawab dengan anggukan kepalanya.
“Baiklah kalau begitu, akan aku cari.”
Aku menurutinya seperti aku menuruti pikiranku sendiri. Aku tidak tahu sampai kapan aku harus bergantung pada psikolog ini. Dia benar-benar membantukku, dia bahkan masih memikirkan balasan apa yang bisa ia terima karena ia telah membantukku. Katanya aku bisa menggunakan uang yang seharusnya ku berikan padanya untuk membayar uang kuliahku, setidaknya meringankan pikiran yang ada dihidupku katanya. Jadi dia akan mencari alternative lain untuk aku bisa membayarnya.
Aku telah menceritakan sebagian kecil dalam hidupku padanya, tentang aku yang hanya tinggal bersama ibuku dan memiliki seorang kakak laki-laki. Sebagian kecil kubilang. Atsa juga tahu kalau aku bisa menulis, katanya aku bisa menjadi penulis terkenal seperti cita-cita ku, ku harap akan menjadi kenyataan.
Ia sudah seperti dokter untukku, walaupun aku tahu tidak selamanya ia akan menjadi dokterku, aku harus berdiri sendiri diatas kakiku. Begitu katanya.
“Kau? Kenapa tidak menelponku jika ingin kemari?”
Kataku terkejut saat melihatnya ada di teras rumahku bersama ibuku.
“Aku bisa melakukan apa yang aku mau.” Katanya dengan nada sombong seperti biasanya.
“Aku juga harus tahu dimana pasienku tinggal, bukan?” katanya yang lebih mengejutkan ku.
Aku melihat kearah ibu yang tersenyum seperti memberi isyarat bahwa semuanya baik-baik saja. Aku tidak bilang pada siapapun tentang Atsa termasuk ibu, aku tidak ingin ibu merasa bahwa aku adalah bocah yang benar-benar terlihat menyedihkan. Tapi sepertinya ibu merasa baik-baik saja dan terlihat senang dengan kedatangan Atsa, ah ku pikir memang ibu selalu begitu pada semua orang.
Atsa mengajakku ke suatu tempat menaiki bus kota, ia memiliki kendaraan sebenarnya. Dirumahnya terlihat ada 2 sepeda, satu motor dan satu mobil, tapi katanya ia lebih menyukai bus, senang rasanya melihat ekspresi banyak orang, bahkan kadang ia suka menebak-nebak sedang terjadi apa dengan orang itu saat melihat ekspresi mereka.
“Lihat orang berbaju garis-garis biru itu.” katanya sambil menunjuk kearah orang yang ia tuju, aku pun menoleh kearah yang ia maksud.
“Aku menebak kalau dia sedang dalam masalah besar, sepertinya ia ingin cepat-cepat menemui istrinya untuk mengatakan kalau ia tidak bermalam di rumah selingkuhannya tapi dikantornya.” Katanya sambil tertawa mengejek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aeera
Teen Fictionada dititik mana dia di semesta ini? semua baginya abu-abu. tidak ada yang pasti. dia pikir semestanya sama dengan yang lain, tapi nyatanya setiap orang punya semestanya sendiri. ada yang mendukung, ada yang tidak peduli. mungkin dia orang yang tida...