Bab 5. Pelakon dalam Sandiwara

13.9K 1.8K 42
                                    

Halo, akhirnya aku update bab baru lagi nih~

Seperti biasa, sebelum memulai baca tinggalkan vote kamu dulu, ya. Habis itu ramaikan kolom komentarnya. Anggap aja kamu sedang menyuntikkan semangat aku buat nulis.

Ini Obelix. Iya, beliau muncul di sini, tapi dalam garis waktu sebelum Pop the Question 🙈

Oh iya, jangan lupa buat ikut baca juga naskah terbaru aku yang judulnya The Breadcumber

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Oh iya, jangan lupa buat ikut baca juga naskah terbaru aku yang judulnya The Breadcumber. Bisa kamu temui di profil aku, ya. Besok sudah mulai unggah bab satunya.

Pssst, di Bab 6 Rojer sudah mulai bertemu Naina!

Enjoyyy!

*****

Jakarta, 9 hari kemudian....

SAMPAI SEKARANG ada satu hal yang tidak bisa dipercayai Rojer, yakni manusia. Mereka serupa pelakon dalam sebuah sandiwara. Mereka makhluk penuh tipu daya yang suka mendadak baik ketika menginginkan sesuatu.

Maka dari itu, Rojer selalu jengah dalam diam dengan orang-orang yang memujinya kalau dia orangnya baik sekali. Padahal, Rojer hanya sedang menjadi seperti manusia lainnya—bersikap baik ketika menginginkan sesuatu. Ya, dia menginginkan namanya selalu terjaga di depan kamera atau orang lain.

"Gue cuma berharap otak lo bisa lebih berjalan dengan semestinya mulai sekarang," kata Mas Thamrin saat di telepon tadi. "Lo harus bisa jaga sikap lo di depan banyak orang. Gue nggak bisa 24/7 di samping lo buat kasih uang tutup mulut sana-sini tiap kali lo bertingkah. Umur lo udah di kepala tiga, bisa nggak bisa tungkai kaki lo harus lebih siap buat menopang diri lo sendiri. Ngerti nggak?"

Lihat, kan? Mas Thamrin kalau sudah buka mulut bawelnya kebangetan. Padahal, Rojer juga tahu kalau dia harus menjaga sikap di depan banyak orang demi nama baiknya. Adapun soal bertingkah, seharusnya jangan melimpahkan kesalahan padanya. Salahkan saja mereka yang menyebabkan Rojer emosi. Dia juga seperti manusia lain yang berhak marah.

Tidak lama, Rojer menemukan nama maminya sebagai pemanggil di head unit mobilnya. Rojer langsung menyentuh tombol yang bagian hijau. "Iya, Ma?" sahutnya lebih dulu. "Kenapa, ya?"

"Kamu jadi ke rumah, kan, buat makan malem bareng?" tanya Mama. "Mama cuma mau memastikan aja."

"Jadi, kok. Ini aku masih di jalan." Rojer cukup mensyukuri bahwa lalu lintas Jakarta malam ini cukup bersahabat. Setidaknya, dia tidak perlu merutuk karena hal sepele seperti macet. "Aku usahakan dua puluh menit lagi bakal nyampe, ya, Ma."

"Ah, syukurlah, kalau kamu benaran mau datang." Suara Mama terdengar lega sekaligus girang. "Mama kira kamu ogah ke mana-mana karena baru kelar kerja di luar kota. Tadinya, Mama sempat mau sedih. Masa, makan malam bulan ini nggak lengkap? Lix, datang. Papamu juga udah jelas bersedia. Shera, anak itu nggak perlu ditanya lagi karena kalau urusannya udah makan, pasti nurut banget. Kamu doang yang masih menaruh tanda tanya besar di atas kepala Mama."

Dating a CelebrityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang