Bab 1. Menuju Reuni

24.6K 2.3K 42
                                    

Boleh kali, ya, tinggalkan vote terus komentar kalian yang banyak? Hehe. By the way, selamat berbuka puasa untuk yang menjalankan~

*****

RAGAS:

Kalau kamu nggak sibuk nanti malam, mau ikut bareng aku ke reunian aku Nai?

Itu pesan dari Ragas yang diterima Naina siang tadi. Naina tentu saja tidak punya jawaban lain kecuali menerima. Gila banget. Siapa pula yang ingin menolak tawaran menggiurkan seperti itu, sih? Tidak peduli soal statusnya dengan Ragas yang masih sekadar teman dekat, tapi mesra. Selagi ada peluang begitu, mengapa tidak terobos saja?

"Gila, ya, gue nggak nge-expect kalau lo bakal seniat ini," komentar Prisil. Naina memutuskan untuk melakukan video calling dengan sahabatnya selagi dia merias diri. "Lo sampe rela wavy-in rambut lo."

"Gimana, Sil? Match nggak, sih, di gue?" Untuk sejenak, Naina menghentikan gerakan meratakan foundation ke pipinya. Dia agak menunduk sembari mengusap-usap rambutnya. "Mbak salonnya bilang, tulang pipi gue kalah panjang ketimbang ukuran panjang muka gue. Terus si jidat. Iya, sih, gue mengakui kalau jidat gue lebar. Tapi asli, ya, Sil, Mbaknya ini to the point banget. Sampe bilang jidat gue bisa dijadiin mini bandara. Dan rahang gue ini kecil gitu, loh, kesannya muka gue jadi—apa ya? —menjorok gue rasa? Jadi, beliau saranin gue untuk pake potongan long wavy buat ngatasin itu."

"Hmmm," Prisil berpikir sejenak, membuat Naina semakin tidak sabar karena takut bakal aneh. Masa iya dia harus mendampingi Ragas ke reunian dengan tampilan rambut yang aneh? Sudah menguras tenaga, waktu, terus dompet. Kan, tidak lucu juga. "It looks good on you, sih."

"Ya kan? Ya kan?!" pekik Naina riang. Bagus kalau begini. Masalah rambut, beres. "Untungnya gue punya struktur muka yang paripurna banget, jadi gaya rambut apa pun bakal looks match di gue."

"Najis banget kalau urusan pede ya lo." Prisil mencebik di sana. "So, buruan, deh, lo lanjutin nge-blend-nya. Gue bakal mantau lo."

Naina pun tertawa, sebelum kembali meratakan foundation ke wajahnya. "Lo nggak menuntut bayaran buat jadi ibu peri semalam gue, kan?"

"Terus lo yang jadi Cinderela-nya gitu? Dih, ogah, Nyet," sembur Prisil. Hanya Prisil yang berani untuk tetap memanggil Naina dengan sebutan begitu, padahal kalau didengar oleh Ayah Naina, bisa berakhir mendapat tatapan tajam. "Lo yang enak bisa keluar, lah gue cuma ngedekem di kamar. Empet banget gue, Nai."

"Lo gue ajak buat ikut malah nolak, sih. Ragas juga kayaknya bakal oke-oke aja, deh, semisal gue bawa lo."

"Sori, ya, gue nggak segabut itu buat jadi obat nyamuk bakar di antara kalian."

"Ajak Mas lo aja buat keluar," saran Naina. "Kalian nggak bakal kentara kalau kalian kakak adik, sih. Palingan mirip majikan dan babu." Foundation di wajahnya sudah rapi. Naina pun beralih ke concealer. Tepat sebelum mengaplikasikannya, Naina berkata, "Abang lo yang majikannya, babunya, ya, elo. Buahahaha."

"Lama-lama gue pake jasa santet online juga buat lo."

"Dih, gue cuma berkata fakta kali, Sil," kata Naina. "Lagian lo punya Mas, kok, beda banget sama lo? Doi bibit unggul banget, anjrit. Heran gue."

Yang lebih mengherankannya, Kakaknya Prisil ini masih jomlo walaupun umurnya sudah 32 tahun. Naina tidak habis pikir, apa, sih yang kurang dari sosok Mas Guma ini? Pekerjaan dia mapan; arsitek. Untuk masalah perawakan, Mas Guma juga aduhai banget. Tinggi, tegap, dengan bahu yang lebar.

Jujur, sih, Ragas saja sampai kalah atletisnya.

Naina juga tidak akan ragu menjadikan Mas Guma sebagai gebetannya—kalau saja hatinya belum sepenuhnya terpaku cuma untuk Ragas.

Dating a CelebrityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang