Sesampainya mereka di restoran milik Renjun dan kakaknya, keduanya turun dari mobil lalu berjalan masuk. Renjun tampak bingung kenapa restorannya sangat sepi bahkan tidak ada satupun pengunjung yang datang tidak seperti biasanya. Bahkan meja-meja di sini tersusun rapi dan tidak ada satupun pekerja yang berlalu lalang.
"Gege." Panggil Renjun kepada kakaknya yang sedang menulis sesuatu di meja resepsionis. Kakaknya mendongak lalu tersenyum kecil melihat adiknya datang bersama Jeno. "Gege menutup restorannya? Kenapa sepi sekali?"
"Ya aku menutupnya lebih awal karena kita kehabisan bahan makanan, lihat aku sedang mendata bahan-bahan yang habis dan aku akan mengirimkannya kepada paman Zhong."
Renjun mengangguk mengerti, ia menoleh kepada kekasihnya yang sibuk celingukan seperti anak kecil, "Jeno-ya bagaimana ini?" Tanyanya.
"O-oh? Habis ya?"
"Lebih baik kalian duduk dulu sepertinya masih ada sisa bahan makanan yang diolah, aku akan menyiapkannya segera."
Lantas Sicheng pun pergi dari tempatnya menuju dapur untuk memasak. Renjun melepas tasnya kemudian menyuruh Jeno untuk duduk terlebih dahulu di salah satu kursi. Awalnya Renjun ingin pergi ke dapur membantu Sicheng tetapi Jeno menahannya dengan alasan minta ditemani. Jeno tidak ingin duduk sendirian di ruangan besar ini.
Keduanya duduk bersama sambil berbincang kecil. Berbincang mengenai kafe, mengenai Sungchan, atau mengenai diri masing-masing. Sesekali Renjun menyenderkan kepalanya ke bahu Jeno bermaksud beristirahat. Kepalanya terasa berat karena hari ini benar-benar melelahkan.
Pemuda berkacamata itu tersenyum tipis sambil mengusap pinggang kekasihnya. Terkadang ia juga akan memberikan kecupan singkat di pucuk kepala bersurai abu-abu tersebut. Aroma kayu manis yang menguar dari surai Renjun mampu membuat Jeno bertekuk lutut.
Jeno melihat ke arah pintu dapur. Di balik kaca bening berbentuk lingkaran itu ada Sicheng yang memberikan senyuman serta acungan ibu jari kepadanya. Pemuda bersurai hitam ini mengangguk kecil lalu menghirup nafas dalam-dalam sebelum menghembuskannya perlahan.
"Renjun-ah, aku ingin berbicara serius denganmu."
"Ada apa?" Renjun segera memposisikan dirinya duduk seperti semula meskipun kedua matanya terlihat sayu meminta diistirahatkan. Ia melihat Jeno yang tampak sibuk meraih sesuatu dari dalam tasnya.
Tak lama kemudian Jeno menemukan benda tersebut. Ia tersenyum simpul lalu meletakkan benda berbentuk kubus itu di atas meja. Renjun membulatkan matanya saat Jeno membuka kotak kubus berbahan beludru tersebut. Di dalam sana terselip sebuah cincin emas putih di antara dua bantalan busa. Di tengah cincinya terdapat ukiran berbentuk inisial J. Sangat sederhana tetapi terdapat sejuta cinta di dalamnya.
"Renjun-ah, maafkan aku jika kamu tidak menyukai cincinnya tapi aku hanya ingin kamu tahu kalau aku benar-benar mencintaimu." Jeno menghentikan kalimatnya sejenak karena terlalu gugup, "aku... ingin menikahimu, Renjun. Aku ingin kita berdua hidup bersama ke depannya, sebagai sepasang.... Ya ka-kau tahu... Uhh..."
Renjun memandangi Jeno yang terlihat sangat gugup. Terlihat jelas dari sepasang matanya yang mengedip berulang kali serta tutur kata yang berantakan. Pemuda bersurai abu itu masih setia memandangi dengan mata berbinar sekaligus berkaca-kaca, senyuman tipis muncul di wajah manisnya.
"Aku tidak pandai merangkai kata-kata tapi yang jelas aku ingin menikahimu dan aku ingin kamu menjadi istriku." Jeno menoleh ke arah Renjun, jantungnya berpacu cepat begitu Renjun memandanginya juga. Ah, sepertinya Jeno benar-benar bodoh? Padahal ia sudah mempersiapkan segalanya kemarin malam sebelum tidur, bahkan ia menuliskan kalimat yang cocok untuk melamar Renjun dan menghafalnya. Tapi kenapa saatnya tiba ia malah jadi gelagapan seperti ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Daycare Love | JenoRenjun✔️
FanfictionDengan malas-malasan Jeno menjemput adiknya di tempat penitipan anak. Jeno pikir hari itu akan selalu dirinya ingat sampai kapanpun karena dia melihat sesosok mirip malaikat baik hati yang nyata yaitu pengasuh dari adiknya sendiri. Malaikat itu berh...