Uncomfort Situation

3.3K 210 9
                                    

Aku duduk dengan Rick saat kami sarapan. Dia melayaniku dengan baik, mengambilkan ini, membawakan itu, dia sengaja memberi perhatian lebih padaku setelah kejadian kemarin. Akhirnya aku mengungkap siapa Tristian. Aku pernah bercerita pada Rick tentang pria yang pernah membuatku patah hati, tapi aku tidak pernah memberi tahu siapa namanya. Dan dia terkejut saat tahu kalau pria itu adalah Tristian.

Rick marah saat aku tidak bisa lagi menutupi perasaanku, selama ini dia pikir aku sudah melupakan Tristian tapi nyatanya pria itu masih saja menguasai pikiranku. Mungkin rasanya berlebihan, tapi untuk gadis dengan rasa insecure tinggi sepertiku, menyukai seorang pria bukan hal mudah, apalagi untuk membuka hati.

Aku dulu merasa di permainkan. Tidak seorang pun seharusnya boleh memainkan perasaan orang lain. Dan aku dulu patah hati cukup dalam, membuatku tidak ingin membuka diri untuk seorang pria terkecuali Rick.

Rick bilang dia akan menjagaku, dia akan menjauhkan aku dari Tristian, dia bilang tidak akan membiarkan pria itu menyakitiku lagi.

Tapi, setelah kemarin, aku penasaran apa maksud Tristian bilang rindu padaku? Apa benar dia mencariku selama ini? Aku menggeleng menyenyahkan harapan konyol.

"Greet, stop acting like a weirdo." pelototan Rick membuatku tertawa miris. Dia mencondongkan tubuhnya mendekat "Ingat Greet, ada pacar kamu disini. Jaga sikapmu didepanku, Honey."

Aku meninju dadanya dan dia terbahak. Tanpa sadar aku menatap Tristian yang ternyata sedang melihat kami. Aku buru-buru membuang muka, pura-pura sibuk bicara dengan Rick. Aku tidak ingin lagi terbius dengan mata pria itu, yang selalu membuat pertahananku goyah.

Rick mengingatkan agar aku bersikap datar. Dan aku merasa melakukannya dengan baik. Selama kami ke Anyer ini aku mengurangi berinteraksi dengan pria itu. Kami hanya membahas masalah kerjaan dan aku terus menghindar saat kami hanya berdua dalam satu ruangan. Susah, tapi untungnya aku masih bisa berkelit.

Lalu setelah kami kembali ke Jakarta, aku sibuk membantu Rick, dia kembali ke Paris sebelum pindah dua minggu lagi ke Indonesia.

Seminggu kemudian saat pulang kerja mba Luna mengajakku jalan ke mall. Aku tidak menolak karena dia bilang kami hanya akan jalan berdua.

"Jadi, Rick itu pacar kamu? Kok kamu bilangnya dia cuma temen sih?" tanyanya.

Aku tersenyum masam. Memang selama ini seperti itu. "Mm ... kami memutuskan untuk coba ke tahap lebih lanjut mba. Aku pikir ga ada salahnya nyoba." ucapku terlanjur berbohong.

"Hmmm ... Iya sih, kalau ga di coba kita ga akan tau. Kaya aku sama Tristian, aku ga akan bisa tau gimana pikiran dia kalau kami ga sering jalan bareng. Tapi akhir-akhir ini dia berubah banget. Dia sering nyamperin aku."

Ada perasaan aneh saat aku dengar hal itu. Aku seperti menelan pil pahit mendengar mereka sudah lebih dekat sekarang.

"Kadang dia bersikap dingin, terus kayak nyuekin aku, tapi tiba-tiba dia menyimak dengan serius kalau aku lagi bicara. Masih berubah-ubah gitu sikapnya. Tapi dia sekarang sering ajak aku jalan." Mba Luna tersenyum.

"Mm ... Perasaan Mba gimana?" Aku ragu untuk bertanya tapi aku ingin tahu.

"Kalau dibilang ga tertarik, impossible! Siapa yang ga akan tertarik sama cowok kaya Tristian. Untuk suka belum sih, tapi nampaknya mengarah kesana." Mba Luna tersipu malu saat mengatakannya.

Aku tersenyum palsu, rasanya tidak ingin mendengar hal itu. Lalu Tristian, bagaimana perasaan dia pada mba Luna?

Apa urusanmu, Greet?

Aku memejamkan mata lalu membebaskan pikiranku. Aku tidak boleh peduli.

Aku membahas hal lain, tidak ingin mendengar apapun tentang Tristian lagi. Mba Luna ijin ke toilet. Aku duduk meminum lemon squash sambil memainkan ponselku.

Tiba-tiba suara ponsel mba Luna berbunyi, dia meletakkannya di atas meja. Tanpa sengaja mataku melirik ke arah benda itu. Nama Tristian terlihat di layar ponsel, membuat hatiku mencelos. Tidak lama mba Luna datang dan dengan segera mengangkat penggilan itu dengan wajah sumringah.

"Hai.. sorry aku dari kamar mandi tadi"

Aku tersenyum saat dia mengedipkan satu matanya padaku merasa senang.

"Iya aku sama Greet di Sency."

"____________"

"Oh, boleh-boleh. Kesini aja!"

Aku seketika merasa cemas. Dia mau kesini?

"Oke aku tunggu ya ..." Mba Luna kembali tersenyum sambil mematikan teleponnya. "Tristian mau kesini, minta di anterin cari kado buat saudaranya ulang tahun. Kemajuan kan?"

Aku hanya manggut-manggut sambil tersenyum masam. "Mba, aku pulang duluan ya.. ga enak nanti ganggu." sahutku jujur.

"Eh, jangan.. gapapa Greet, tar aku anter kamu pulang. Aku mau mampir kerumah tanteku di tangerang."

"Tapi mba ..."

"Greet, santai aja sih.. lagian aku nanti butuh pendapat kamu. Kamu liat sikap dia ke aku, udah nunjukkin suka apa belum... Please?"

Aku berdehem tidak nyaman. Aku tidak ingin melihat interaksi mereka. Tapi pikiranku mengkhianati hatiku. "Oke mba."

Wanita cantik itu tersenyum senang. Setengah jam kemudian pria itu muncul, aku merasa cemas.

"Pak.." Aku menyapanya singkat. Dia hanya mengangguk menanggapi. Lalu kami berjalan bersama.

Aku terkejut dengan apa yang selanjutnya ku lihat, di sepanjang kami berkeliling, Tristian terus memeluk pinggang ramping mba Luna, dan mereka terlihat luar biasa serasi. Berpasang mata menatap mereka iri, membuatku tidak nyaman dengan situasi ini.

Aku tidak tahu sejauh mana hubungan mereka, tentunya mba Luna tidak mungkin cerita lebih dalam padaku. Tapi tidak, aku tidak ingin tahu.

"Mau kasih hadiah apa?" tanya mba Luna.

"Apa yang cewek suka?" tanyanya seolah aku tidak ada disana, menatap mba Luna dengan lekat, suatu peningkatan yang tidak aku duga.

Mba luna menatapku, aku mengerti maksudnya, dia seolah bilang kalau dugaannya benar bahwa sikap Tristian berubah. Dan aku enggan mengakui kalau ya, pria itu terlihat bersikap lebih manis pada mba Luna, yang membuatku sebal.

"Tergantung sih, dia suka nya apa?" tanya mba Luna meletakkan tangannya di pundak Tristian.

"Itu dia aku ga tau. Greet, barangkali kamu bisa kasih pendapat?" Dia tiba-tiba tersenyum aneh padaku.

"Hmm ... Perhiasan pak? Atau tas?" jawabku asal. Sumpah rasanya aku ingin pergi dari sini secepatnya.

"Mba, itu ..."

Suara ponsel mba Luna memotong ucapanku. "Bentar Greet." sahutnya sambil mengaduk isi tasnya.

"Halo Ma ... hah? Aku masih di mall sama Tristian."

"________"

"Ya ampun Ma, kok dadakan gitu? Ya udah deh aku jemput."

Dia menatapku dan Tristian bergantian.

"Duh Tian, maaf ya aku ga bisa temenin kamu cari hadiah. Mama minta ikut kerumah tanteku. Aku jadi harus jalan dari sekarang. Padahal tadinya aku mau anter Greet pulang."

Dia menatapku. "Sorry ya Greet, tolong bantu Tian cari hadiah."

Hah?!! Tidak... Tidak.. Aku tidak mau..

"Tapi mba ..."

"Please Greet, nanti kamu di anter Tian pulangnya ya, rumah kalian searah." sanggahnya sambil mencium pipi Tristian.

"Mba, aku sendiri ..."

"Oke bye..." Dia berjalan tergesa meninggalkan aku yang masih membuka mulut menatap kepergiannya dengan tidak percaya. Bisa-bisanya mba Luna meninggalkan aku dengan calon tunangannya!!

✅ Greet's Wildest DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang