Greet pov
Harusnya aku bernapas lega, Tristian terlihat cuek, dingin, tidak terus menatapku seperti biasa. Apakah karena ada Rick? Tapi kenapa aku sekarang malah gelisah?
Aku belum bisa cerita apa-apa pada Rick. Untungnya dia tidak menuntut penjelasan saat kemarin aku bilang bahwa dia pacarku di depan Luna dan Tristian. Dia sekarang sedang tertidur lelap di kamarnya, katanya mau menikmati waktu zen nya sampai saat makan malam nanti.
Tidak terasa sudah hampir sunset, kami sudah berkeliling hotel mengupas setiap sudut di hotel ini. Tinggal makan malam dan wawancara dengan chef.
Aku sangat suka sunset. Bagiku itu keindahan yang Tuhan ciptakan, agar kita bisa menghargai waktu di siang hari sebelum menikmati saat malamnya.
Aku duduk di tepian batu-batu besar di pinggir pantai. Hotel ini membuat dermaga kecil sepanjang lima ratus meter yang menjorok ke pantai, biasanya digunakan bagi para tamu menginap yang ingin menikmati sunset atau sudut romantis untuk dinner pasangan yang sedang honeymoon.
Mas Andreas sedang menyorot matahari orange yang siap tenggelam. Mba Silvy tadi sudah selesai pengambilan gambar, dia duduk di dekat Leon dan Tristian sambil berbincang dan aku hanya melamun.
Aku tidak tahu, bagaimana aku harus menyikapi Tristian jika dia membahas masa lalu kami yang berakhir tidak mengenakan. Tidak mengenakan menurutku sih, entah apa arti hubungan kami dulu baginya.
Tristian, cinta pertamaku.
Sejak kecil aku bertubuh kurus, tapi saat SMP kata Mama napsu makanku tiba-tiba melonjak dan badanku jadi berisi. Aku berubah menjadi gadis yang tidak pede saat SMA hingga kuliah. Orang-orang hanya mengejek tubuhku yang gemuk, membuatku tidak berani berteman dekat dengan siapapun. Sampai aku bertemu Rick, murid pindahan yang bertubuh gemuk dan sebelas dua belas denganku jadi bahan bully'an. Tapi mungkin karena dia dari luar negeri, dia lebih cuek dalam menyikapinya. Saat satu tahun kemudian dia kembali pindah keluar negeri, aku kehilangan seorang sahabat. Kami masih berteman, tapi tetap saja berbeda karena dia tidak di sampingku.
Sampai aku kuliah pun begitu, aku tidak pernah punya teman dekat. Aku hanya berteman di kampus saja, di luar kampus aku kemana-mana sendiri. Sampai aku bertemu Tristian. Cowok tampan luar biasa itu terlihat tulus saat berteman denganku. Perasaanku berubah jadi suka saat kami sering menghabiskan waktu bersama. Tapi pada akhirnya dia sama saja dengan cowok lainnya. Memandang seorang cewek hanya dari fisiknya.
Bukan aku berharap dia melihatku sebagai perempuan, tapi ... Entahlah, mungkin karena aku menyukainya, aku seperti berharap saat dia selalu membelaku didepan cewek-cewek penggemarnya yang selalu mengejekku. Dia tidak sungkan merangkulku, atau duduk berdekatan denganku. Aku berpikir dia tidak memandang seseorang dari fisiknya, membuatku berani jatuh cinta dan memberikan perhatian lebih. Tapi sekali lagi, laki-laki sama saja!
Untung aku belum mengungkapkan perasaanku seperti yang aku rencanakan saat kami selesai wisuda, untung aku mendengar kenyataan pahit itu sebelum aku berharap lebih jauh lagi.
Aku menarik napas saat cahaya matahari semakin menghilang, hanya langit berwarna abu-abu yang berubah semakin gelap. Saat yang lain bilang akan kembali ke kamar, aku bilang bahwa aku akan tinggal lebih lama sebentar. Aku masih ingin menikmati suasana ini.
Aku menatap deburan ombak, yang seolah membentur jantungku yang masih berdegup aneh jika menatap atau di tatap Tristian. Dia tidak berubah sejak dulu, hanya lebih tampan dan menarik. Tubuhnya lebih 'jadi' sekarang. Dan aku benci saat melihat dia terlihat serasi jika bersanding dengan mba Luna.
Sudah lebih dari empat tahun. Tapi aku tidak bisa menghilangkan debaran itu. Aku meremas kaosku di bagian dada, rasa nyeri saat menatapnya masih aku rasakan. Seolah dia penawar atas rasa sakit itu, yang tidak boleh ku gapai.
Aku berdiri memandang ke laut lepas. Berharap gelombang air laut menyeret perasaanku menjauh.
"T.r.i.s.t.i.a.n..." Aku menggumam, berharap nama itu tidak terus bergentayangan di benakku.
"Ya?"
Aku terlonjak mendengar suaranya dan berbalik. Tubuhku oleng dan aku tidak bisa berdiri dengan seimbang.
"Aakh.." aku memekik.
Aku pasti jatuh!
Aku memejamkan mata saat aku tidak merasakan apa-apa, aku masih berpijak di kakiku, tapi ada tangan lain yang melingkar di bahuku, hembusan napas hangat di puncak kepalaku, dan bau maskulin yang menyeruak masuk ke hidungku.
Aku membuka mata perlahan, melihat leher kokoh, dada naik turun, sama memburunya dengan dadaku. Mataku mengerjap gugup, mulutku terbuka tiba-tiba merasa kehilangan pasokan udara padahal aku ada diruangan terbuka.
Yang membuatku sesak napas adalah, orang yang memelukku itu, yang menjagaku agar tidak terjatuh, yang saat ini bibirnya menempel di keningku. Aku membeku, dia bahkan tidak bergerak saat aku mendorong dadanya menjauh.
"Greet, i miss you ..." lirihnya.
Napasku tertahan, sesuatu meleleh keluar dari rongga dadaku, mataku terasa panas. Tanganku terangkat ke punggungnya.
"Ia ..."
"GREET!"
Seketika pelukan kami terlepas. Rick berdiri lima puluh meter dari kami, menatapku dengan tatapan tidak percaya. Aku berbalik menatap Tristian yang menatapku penuh kekecewaan, lalu aku berjalan menjauh menghampiri Rick.
Rick merentangkan tangannya dan aku masuk begitu saja ke pelukannya. Dia merangkulku berjalan menjauh. Aku tidak berbalik menatap Tristian, aku tidak ingin berbalik menatapnya.
Aku hanya diam, menghapus airmataku diam-diam saat kami tiba di kamar Rick. Aku duduk di kursi sedangkan Rick mondar-mandir didepanku.
"Ada hubungan apa kamu sama dia Greet? Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Kemarin kamu bilang aku pacar kamu di depan dia, sekarang kalian berdua malah pelukan di pantai! Dan sekarang kamu malah nangis ga jelas. Ada apa hah?"
Aku menunduk diam, berharap rasa sesakku hilang dan aku tidak menangis lagi.
"Greet! Say something! Don't make me like a foo.!"
Aku menarik napasku. "Rick. Maaf. Aku ... aku ga tau gimana harus jelasin ke kamu soal kemarin tapi maksudku bukan begitu."
"So what? Kamu ga pernah seperti ini Greet. Aku sering mengaku-ngaku kalau kamu pacar ku didepan temanku, tapi kamu membantah, but now, you did the opposite! Kamu ga menjelaskan sedikitpun tentang wanita bernama Luna itu dan pacarnya, headteam kamu itu. Jangan kira aku ga perhatiin sikap kamu yang berubah tegang kalau ada dia Greet!"
Aku masih diam tidak tahu harus menjawab apa.
"Aku pikir kamu insecure didepan Luna, kamu ingin menunjukan kalau kamu bisa punya pacar."
"Bukan! Mba Luna bukan orang begitu. Dia tulus berteman denganku." sanggahku cepat. Aku tidak ingin Rick punya prasangka buruk tentang mba Luna.
"Then what?" Dia menatapku garang.
Aku menghindari tatapan mengintimidasi Rick.
"Oh no..." Mimik wajah pria itu berubah saat menatapku. "Is he ... Oh God! Greeeet!" Sekarang dia menatapku marah.
"Apa itu dia? The same guy who hurt you?"
Aku menghela napas sambil memejamkan mata, mengangguk lemah.
"Ya, itu dia..."
-tbc-
KAMU SEDANG MEMBACA
✅ Greet's Wildest Dream
Romantizm(COMPLETE) Pria tampan, bertubuh atletis, mempesona, apakah mau dengan gadis gemuk? Sang Mama selalu berkata "Kamu akan menemukan "Romeo"mu sendiri, pria yang mencintaimu apa adanya, bagaimana pun bentuk tubuhmu". Benarkah? Dimana? Siapa? Hahahaha...