"Pak, saya pulang duluan aja deh.. ga enak sama mba Luna."
"Loh, kamu ga denger tadi Luna bilang apa? Kamu diminta temenin aku cari hadiah. Nanti aku anter pulang." sahutnya sambil nyeloyor jalan.
"Tapi Pak ... Pak ..." Tristian tidak menghiraukan panggilanku, membuatku mau tak mau mengikutinya.
Aku setengah hati saat menemaninya masuk ke satu toko dan toko lainnya. Asal menjawab saat dia minta pendapat.
"Greet, semakin kamu banyak diam maka semakin lama kita berkeliling di mall ini." sahutnya tanpa menatapku.
Benar juga sih! Akhirnya aku fokus saat dia menanyakan pendapatku, semakin cepat dia menemukan hadiah maka semakin cepat aku pulang dan berpisah dengannya.
Kami masuk ke salah satu toko perhiasan. Semua benda gemerlap berkilauan itu tampak cantik. Aku tidak pernah memakai perhiasan emas apalagi berlian walau Mama pernah membelikan untukku.
"Saudaranya umur berapa Pak?" tanya si karyawan toko.
"Umur kamu berapa Greet?" Tristian malah berbalik tanya padaku.
"Hah?" Aku bingung, untuk apa dia bertanya. Tapi tatapannya menuntut jawaban.
"Tahun ini dua puluh lima, Pak."
"Greet, panggil namaku, jangan Pak."
Kami terdiam saling menatap. Lalu aku mengalihkan tatapanku, dadaku berdebar.
"Mau lihat yang mana pak?" tanya si karyawan lagi.
"Greet ..." Dia malah balik bertanya padaku.
Aku menghilangkan rasa gugup, lalu menatap meja kaca. Dia mendekat menunggu saranku, tapi aku malah semakin gugup. Pandanganku seolah buram tidak fokus saat bau tubuhnya tercium dengan jarak sedekat ini.
"Mmm, budgetnya P ... Ian?" Tanyaku mengalihkan kegugupan.
"Unlimited!"
"Hmm ...." Aku sedikit kaget, kasih untuk saudaranya saja unlimited. Gimana buat pacarnya?
"Sekalian Greet, Luna bentar lagi ulangtahun. Aku juga mau kasih hadiah buat dia."
Seketika jantungku serasa terlempar ke jurang. Aku tertawa miris di dalam hati, menghempas kecewa.
Aku memilihkan kalung cantik untuk saudara Tristian. Dan aku merasa gamang menyarankan hadiah untuk mba Luna.
"Maaf kalau boleh tau Pak, ibu Luna itu siapanya Bapak? Supaya saya bisa memberi saran barangkali..." tanya si mba karyawan.
Tristian menatapku canggung, sedangkan aku, rasanya tidak ingin mendengar jawaban apapun.
"Dia calon tunangan saya, Mba.."
Si mba tersenyum ramah dan menyarankan memberi cincin. Aku hanya diam mengikuti langkah pria itu.
Saat Tian mengatakannya, otakku tiba-tiba kosong. Memang betul apa yang Tristian ucapkan, tapi hatiku seperti di remas. Aku merasa hatiku berubah pedih saat dia menyebutkan status mba Luna.
Aku selanjutnya hanya menatap kosong jejeran perhiasan itu saat Tristian bicara dan memilih cincin untuk mba Luna. Setengah jam kemudian kami berjalan ke arah parkiran mobil.
"Pak.. maaf apa aku boleh pulang sendirian." tanyaku.
"Kenapa?" Dia melirik arloji mahal dipergelangan tangannya. "Ini sudah malam Greet. Masuk." sahutnya tanpa bisa ku bantah.
Kalau aku tiba-tiba bersikeras menolak, dia pasti akan merasa aneh. Aku lebih baik menahan perasaan sedihku sebentaaaar lagi. Semoga jalanan tidak macet jadi aku segera sampai dirumah.
Aku hanya diam, menyandarkan lenganku ke jendela, dengan telapak tangan menangkup mulutku. Hanya hening yang terasa si dalam mobil. Berkali aku merasakan mataku basah dan berkali juga aku menghempaskan rasa sedihku.
Kenapa aku harus menangis?
Sayangnya keinginanku tidak terpenuhi, jalanan tol macet. Suara musik samar terdengar. Aku tidak tahu Tristian sedang apa saat mobil terhenti. Akhirnya aku pura-pura tertidur. Pikiranku melayang kesana kemari.
Ingin rasanya tidur sungguhan tapi tetap tidak bisa. Aku membuka mata sedikit saat merasakan mobil berbelok. Dia berhenti di rest area. Aku menghembuskan napasku saat dia keluar dari mobil ke toilet. Mengerjap frustasi. Lalu kembali merebahkan kepalaku dan menutup mata. Sayangnya kali ini aku terlambat menoleh ke arah sebaliknya. Aku justru menghadap padanya.
Gemersik pakaiannya saat dia masuk dan duduk membuatku berkonsentrasi menduga apa yang dia lakukan. Tristian mengunci pintu, tapi aku tidak merasakan roda berjalan. Sedang apa dia?
Aku bernapas dengan teratur agar dia yakin kalau aku sedang tidur. Tapi aku tidak yakin dengan apa yang selanjutnya terjadi. Tristian mengambil tanganku, menautkan jemari kami. Aku sempat tidak percaya, saat dia mengangkat dan menempelkan bibirnya di punggung tanganku. Entah kenapa dia melakukan itu.
Lalu aku merasakan tangan lainnya menangkap helaian rambutku dan menyampirkannya ditelinga. Jantungku berdebar tidak karuan, aku menanti apa yang selanjutnya dia akan lakukan.
"Greet ... what should i do to you?" bisiknya diruangan kedap itu.
Lalu, seperti dalam mimpi, aku merasakan bibirnya menyentuh dahiku, samar. Sangat samar hingga nyaris aku tidak merasakannya. Aku membuka mata, menuduk tidak percaya saat melihat wajah kami begitu dekat.
Apa yang akan dia lakukan kalau aku memergokinya? Tantang pikiranku. Tapi aku kembali memejamkan mata.
Mungkin sepuluh detik aku tidak mendengar pergerakan apa-apa. Lalu dia melepas pegangan tangannya dan kembali melajukan mobilnya.
Dadaku berdetak diluar batas normal. Astaga! Apa maksudnya dia melakukan ini?
***
"Gimana Greet menurut kamu sikap dia?"
Pagi ini mba Luna sudah menungguku di depan lobby, membawa satu cup kopi dengan wajah kentara penuh rasa penasaran. Langsung merangkul pundakku menuju ruangannya, tak sabar bertanya rupanya.
"Mmm... I-iya mba, Pak Tian jadi beda." Aku mengatakan itu dengan enggan. Setelah semalam kami tidak berkata apa-apa. Aku bersikap seolah tidak merasakan apapun saat Tristian membangunkanku didepan rumah.
"Terus-terus, kalian ada ngobrolin apa aja?"
Apa aku harus bilang kalau Tristian membelikan hadiah untuknya? Entah mengapa hatiku tidak ingin memberitahu hal itu.
"Ga bilang apa-apa sih mba. Kita milih-milih hadiah terus jalan pulang. Cuma aku ketiduran. Pas bangun udah sampe rumah." Aku mengetuk kepalaku. Mba Luna terlihat sedikit kecewa tapi dia kembali tersenyum.
"Gapapa Greet, lain kali kamu bisa tanya-tanya ke dia soal aku."
Aku mengangguk tidak nyaman, lalu kami berjalan ke atas bersama. Aku turun lebih dulu di lantai ruanganku, berjalan menyapa orang-orang disana dan terheran melihat kotak berukuran lima belas kali lima belas sentimeter tergeletak di meja kerjaku.
"Thankyou Greet"
Selembar note di atasnya tergores tulisan tangan yang aku kenali. Aku membuka kotak itu dan menatap cheese cake kesukaanku. Aku duduk di kursiku dengan perasaan tidak karuan.
Sebuah pesan masuk ke ponselku. Aku mendongak menembus kaca menatap ruangannya. Dia tengah menatapku duluan, lalu aku menunduk takut ada yang melihat. Aku membuka pesan darinya.
Pak Headteam
Greet, apa kamu mau makan malam denganku?
-tbc-
KAMU SEDANG MEMBACA
✅ Greet's Wildest Dream
Romance(COMPLETE) Pria tampan, bertubuh atletis, mempesona, apakah mau dengan gadis gemuk? Sang Mama selalu berkata "Kamu akan menemukan "Romeo"mu sendiri, pria yang mencintaimu apa adanya, bagaimana pun bentuk tubuhmu". Benarkah? Dimana? Siapa? Hahahaha...