Reasonless Jealousy

2.5K 229 3
                                    

Tristian POV

Aku merasa jengkel,sejengkel-jengkelnya! Ini pekerjaan kantor, untuk apa bule tidak jelas itu ikut kami kesini? Apakah dia tidak tahu bahwa kita kesini untuk bekerja bukan untuk liburan? Ditambah lagi panggilannya kepada Greet yang sok ke inggris-inggrisan.

Han.. Hon.. Han.. Hon..

Di sini kan Indonesia bukan luar negeri! Tetapi anehnya anak buahku tidak ada yang keberatan kalau dia ikut, ditambah lagi pria itu seperti memberikan sogokan kepada anak buahku dengan membeli berbagai macam makanan seolah aku tidak pernah melakukannya. Cih!

Kami menginap di salah satu cottage bintang lima di pinggir pantai untuk menginap disini selama tiga hari. Plan kami kali ini meliput tentang fasilitas dan restauran yang ada di cottage. Yang semakin menyebalkan adalah si pria bule itu bahkan menginap di tempat yang sama dengan kami.

Setelah jam makan siang, rencananya kami akan break sebentar sampai jam dua lalu pergi melanjutkan pengambilan gambar hingga sunset. Mataku memandang nanar saat kami sampai di lobby, bule itu mendahului mengambil kunci kamar lalu mengajak Greet untuk mengikutinya. Aku menahan rasa kesalku dengan diam, tentunya anak buahku tidak mengerti apa-apa.

"Gile ya si Greet, endut-endut begitu pacarnya bule!" sahut Silvy membuat telingaku panas saat kami di lift menuju lantai kamar.

"Hush! Greet tuh ga endut mba, dia cuma semok pada tempatnya." sahut Leon membela.

"Tadi gw nanya ke Greet, dia mau sekamer ama gw apa gimana? Eh Greet jawab katanya dia mau stay sama si bule. Omaigat!"

Mereka bersahutan menyoraki orang yang bahkan tidak ada di antara kami, berasumsi-asumsi liar yang bahkan aku tidak ingin membayangkannya.

Aku sedikit kecewa saat kemarin mengetahui kalau pria bernama Erickson Colin itu kekasih Greet. Luna bercerita dijalan saat aku mengantarnya pulang, bahwa Greet memang dekat dengan seorang pria, tapi pria itu tinggal diluar negeri. Apakah Rick ini yang di maksud? Luna bilang pria itu orang yang sangat berarti untuk Greet. Dulu katanya gadis itu pernah disakiti oleh pria lain sebelum Rick dan Rick lah yang menyembuhkan luka Greet.

Aku tidak pernah bertanya apa-apa pada Luna, dia sendiri yang terus bercerita padaku. Aku tidak menduga sebelumnya bahwa mereka saling mengenal. Mereka sudah berteman selama tiga tahun hingga sekarang.

Luna gadis yang baik, orang tua kami berteman sejak lama. Mama bilang ayah Luna yang membantu Papa saat sedang terpuruk usahanya. Papaku seorang kontraktor, proyeknya sempat sepi karena terlibat skandal korupsi salah satu Menteri, tapi setelah namanya bersih, banyak perusahaan yang ragu untuk bekerja sama. Hingga Papa Luna memberi jalan dan mengenalkan dengan orang-orang penting dan mengajak bekerja sama.

Makanya saat Papa Luna meminta untuk menjodohkan kami, Papa dan Mama tidak menolak. Kami baru kenal tiga bulan belakangan ini. Aku belum terlalu paham karakter gadis itu. Secara fisik, Luna wanita yang menarik. Cantik, pintar, mandiri, tentunya banyak pria yang tertarik padanya. Entah mengapa dia masih sendiri? Aku yakin banyak pria yang mengantri untuk dekat dengannya.

Hubungan kami belum di umumkan secara resmi, aku masih ingin mengenal Luna lebih jauh. Kalau memang kami akan menikah, tentunya aku tidak ingin ada perceraian.

Mama bilang Luna anak yang sangat menghormati kedua orangtuanya, itu harus menurutku. Dia anak semata wayang yang tidak manja walau kedua orangtuanya bergelimang harta. Dan jelas dia tidak membutuhkan materi dari calon suaminya, dia sudah mandiri secara finansial. Aku mendengar wanita itu tinggal sendirian sejak lulus kuliah, membeli mobilnya sendiri.

Aku salut padanya, tapi entah apakah rasa kagumku akan berubah menjadi cinta? Aku tidak tahu. Tapi sekarang dengan munculnya lagi Greet dalam kehidupanku seolah membuka masa lalu mudaku yang tidak tuntas.

Dulu banyak orang yang mendekatiku, yang mengaku temanku, tapi nyatanya mereka hanya memanfaatkan agar bisa mendekati perempuan yang tertarik padaku. Gadis-gadis yang mengekorku, tapi hanya untuk mendapatkan keuntungan secara materi jika menjadi kekasihku. Hanya satu orang pria yang benar-benar memandangku apa adanya, Jordan. Sahabat sekaligus mantan musuh bebuyutanku saat SMA.

Kami sudah bersahabat selama sepuluh tahun ini, dulu kami jadi musuh karena merebutkan seorang siswi tercantik di sekolah kami. Gayanya yang tengil membuatku muak. Kami sering bertengkar hingga baku hantam, hingga suatu hari siswi cantik yang ternyata licik itu membuat kami terkapar karena di serbu oleh penggemarnya dari sekolah lain. Kami berdua terbaring dirumah sakit bersama dan mentertawakan kekonyolan kami. Sejak itu aku dan Jordan berteman baik, kami juga kuliah di kampus yang sama. Tapi sejak lulus, Jordan pindah memegang perusahaan keluarganya di Lampung karena ayahnya jatuh sakit tapi kami tidak pernah putus hubungan. Kalau sedang ke Jakarta kami pasti bertemu.

Saat kuliah dulu, dia heran melihatku dekat dengan Greet. Jordan bilang gadis itu bukan tipeku, tapi entah mengapa aku merasa nyaman dekat dengannya. Dia gadis yang berbeda, bayangkan saja, disaat gadis lain sibuk mencari perhatian agar bisa menyandang status sebagai kekasihku, Greet malah sering memberi info pertandingan sepak bola agar kami bisa nonton bareng. Tidak sungkan berteriak heboh saat pesepak bola favoritnya berhasil menembus gawang lawannya. Tidak ragu membeli jajanan kaki lima untuk kami makan bersama.

Tidak sibuk menghabiskan waktu untuk berdan-dan saat aku datang menemuinya di tempat kos nya dulu, bahkan dia pernah menyambutku dalam keadaan masih memejamkan mata, rambut berantakan, bahkan ada bekas liur kering di sudut bibirnya saat aku hendak menyerahkan tugas kelompok kami. Aku tersenyum sendiri mengingat kenangan itu.

"Pa k..." Suara Silvy membuyarkan ingatanku. Aku menoleh pada empat pasang mata, termasuk Greet yang menatapku heran.

"Gimana Pak, ada masukan untuk angle camera?"

"Ah ..." Aku berdehem. Tidak sadar bahwa kami sudah keluar kamar untuk mulai berkeliling hotel. Aku mengambil catatanku dan menyerahkannya pada Silvy. Dia mengangguk lalu menjauh memberitahu Andreas.

Aku menatap Greet, saat bertemu di lobby tadi, dia terlihat segar. Apakah dia habis mandi? Apakah sebelum mandi dia dan bule tidak jelas itu habis melakukan sesuatu? Karena suasana hati gadis itu terlihat berbeda.

Aku memejamkan mata dan menggeleng keras. Bukan urusanku! Apa peduliku? Dia bukan siapa-siapa. Aku menertawakan diriku sendiri saat hati kecilku bicara, bilang saja bahwa kamu tidak suka ada laki-laki lain yang dekat dengan Greet, Tristian!

Aku menyangkal gemuruh tidak nyaman dari dadaku sendiri. Dan berharap jika apa yang menjadi urusanku dengan Greet dulu segera terselesaikan. Aku tidak ingin merasa seolah aku penasaran pada gadis itu. Gadis yang akhirnya aku temukan setelah selama ini menghilang, membuat hidupku seperti hilang arah.

-tbc-

✅ Greet's Wildest DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang