03. Insiden malam

3.4K 464 71
                                    

Setiap pukul empat sore, jendela kamar selalu Abim buka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setiap pukul empat sore, jendela kamar selalu Abim buka. Dengan alasan sederhana, hanya ingin melihat orang-orang yang bersekolah pulang sembari menggendong tas dengan raut wajah senang, menuju tempat yang paling nyaman--rumah.

"Pengen bisa sekolah, kayak orang-orang."

Mendengar ujaran Abim, dua anak yang berada di sana saling menatap, mendadak merasa sedih.

"Bim," panggil Lentera. "Sini deh, mending bantuin kita kerjain PR."

Abim berbalik lalu duduk di atas kasurnya, melihat kedua temannya yang menumpang mengerjakan tugas sekolah. "Aneh. Kok minta bantuan sama aku? Aku, kan, nggak sekolah."

Alwi--anak berwajah bule--yang sedari tadi diam menghela napas. "Ya, tetap aja. Kapasitas otak orang beda-beda, Bim. Kamu, kan, ada dua kakakmu yang juara kelas. Ayahmu mantan dosen pula, semuanya pintar. Kamu mau sekolah atau enggak pun ada mereka yang ngajar."

Abim mencebik, lalu menatap keduanya yang serius belajar. Setiap pulang sekolah, Tera dan Alwi selalu datang ke rumahnya, sekadar ikut mengerjakan tugas dan menceritakan kejadian-kejadian saat di sekolah.

Tentang Tera, Abim sudah berteman dengannya cukup lama, tepat satu tahun setelah mengisi rumah baru. Lain dengan Alwi, tetangga pindahan yang baru menempati salah satu rumah di kompleks dua tahun lalu. Tanpa Tera, Abim tidak akan mengenal Alwi.

"Kalau aku sekolah gimana, ya?" Lagi, Abim selalu menanyakan hal itu. "Harusnya aku kelas dua SMA sekarang, tapi kayaknya kalau masuk bakal satu angkatan sama kalian. Aku yang nggak pernah sekolah ini, mana mungkin langsung loncat ke kelas dua."

Tera tak lagi bicara, sama halnya dengan Alwi. Bukannya tidak ingin menyahut, tetapi hanya bingung harus memberi tanggapan apa. Setelah selesai, mereka lekas membereskan barang-barangnya dan berpamitan untuk pulang. Tinggallah Abim sendiri yang menatap kepergian Tera dan Alwi dari jendela. 

Helaan napas tercipta. Abim segera menutup jendela, lantas menghampiri cermin untuk menatap dirinya sendiri. Tangannya tergerak untuk membuka hoodie, menyisakan kaos putih yang membalut tubuh kurusnya. Diangkatnya kaos yang dikenakan dengan tatapan yang mulai fokus pada jahitan bekas operasi di dada. Sudah sembilan tahun semenjak ia melakukan operasi transplantasi jantung karena HLHS* yang diderita sejak lahir. Kala itu, pikirnya ia sudah sepenuhnya sembuh dan bisa memulai sekolah dari jenjang sekolah dasar.

Setelah satu tahun rehat, tepatnya ketika hendak sekolah, Abim malah sakit kembali. Bukan HLHS, melainkan penyakit yang lebih ganas, membuat asanya perlahan terkikis. Lagi-lagi harus menghabiskan waktu untuk pengobatan sampai akhirnya usia 14 tahun dinyatakan sembuh.

Abim sadar, selama hidup sepanjang itu, ia tidak pernah benar-benar menghasilkan apa pun. Hanya menyusahkan dan menciptakan lara terus menerus bagi orang tua maupun kedua kakaknya.

Melankolia [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang