10. Keputusan

2.3K 316 69
                                    

"Abim, mulai sekarang kamu fokus pengobatan, ya? Kami minta kamu berhenti sekolah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Abim, mulai sekarang kamu fokus pengobatan, ya? Kami minta kamu berhenti sekolah."

Abim yang tengah menunduk sembari mengaduk sarapannya mendongak, menatap manik mata sang ibu yang baru saja berbicara. Tak hanya itu, ia juga melihat satu persatu keluarganya dan yang ia dapat sama--sebuah permohonan. Abim tidak mengeluarkan pendapat, hanya melanjutkan makannya dengan tenang. Namun jelas sekali jika teruna itu tengah menahan rasa sedihnya.

Keputusan keluarganya sudah bulat, bahwa dirinya akan diberhentikan lagi, tidak diizinkan untuk pergi mengenyam pendidikan di bangunan yang baru ia pijak selama dua hari. Persetan dengan biaya pendaftaran yang mahal kandas begitu saja, mereka hanya ingin Abim kembali fokus pada pengobatannya. Abim sendiri belum sepenuhnya terima dengan hasil tersebut. Terus merasa bersalah karena lagi-lagi menghabiskan uang keluarganya untuk hal yang percuma. Namun ia juga tidak bisa memaksakan diri.

Seusai sarapan, Abim kembali ke kamar, tak punya kegiatan yang benar-benar bisa membangkitkan semangatnya. Lesu, lesu, dan lesu terus menyerang, berakhir menatap beribu volume air hujan yang turun pagi ini, turut menyapa kaca jendela menyebarkan hawa dingin yang menyeruak. Pandangnya tidak hanya tertuju pada tetesan air, melainkan pada beberapa orang yang menerobos fenomena alam tersebut dengan payung atau jas sebagai pelindung, demi sampai ke tempat tujuan. Entah itu sekolah, tempat bekerja ataupun yang lainnya.

"Jendelanya ditutup, Bim. Dingin."

Abim berbalik, mendapati kakak pertamanya yang datang membawa nampan kecil, lekas menutup pintu yang semula terbuka. Abim jelas tahu apa yang dibawa oleh Juna, yakni beberapa obat yang akan ia konsumsi ke depannya mulai sekarang. Karena perintahnya tak kunjung dilakukan, Juna menyimpan nampan berisi obat juga air minum tersebut di atas nakas, menutup jendelanya sendiri.

Abim menghela napas, dengan langkah pelan mulai duduk di atas kasur, tentunya diikuti Juna yang mendaratkan bokongnya di pinggiran. "Mikirin apa, hm?"

Abim tak kunjung bicara sementara Juna masih berusaha untuk mencairkan suasana yang agak dingin. Adik bungsunya jadi lebih sering diam setelah tahu dirinya sakit lagi. Namun meskipun begitu, Abim tetap menerima tablet dari Juna yang berguna memperlambat pergerakan musuhnya yang tengah bersarang di tubuh.

"Tahu enggak, Bim. Sayang banget, sekarang Kakak enggak bisa nyuruh-nyuruh kamu lagi. Apa Kakak beralih aja sama Bintang, ya?" Juna terkekeh pelan, mulai merencanakan hal-hal yang jahil. "Biar dia tahu gimana rasanya kalau disuruh-suruh."

Abim tak tertarik dengan pembicaraan tersebut. "Lagi pengen sendiri, Kak." Akhirnya empat kata keluar dari mulutnya, tetapi tak berhasil membuat Juna pergi.

"Kamu enggak bisa bohong sama Kakak." Juna mengusap kaki Abim yang terbalut selimut. "Kakak di sini buat temenin kamu. Mungkin bukan cuma Kakak, nanti yang lain bakal gantian. Kami bakal selalu ada buat kamu, Bim." Juna tersenyum tipis. "Kakak enggak tahu kamu marah atau enggak soal keputusan kami yang enggak biarin kamu sekolah. Tapi itu demi kebaikan kamu. ‌Kalau pengen belajar, Kakak atau Bintang siap sedia ngajarin. Jangan sedih terlalu lama. Kamu harus yakin, kalau Tuhan enggak bakal kasih ujian melebihi batas kemampuan kita. Kamu kuat, Bim. Kakak yakin kamu bakalan bertahan, persis seperti sebelumnya."

Melankolia [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang