01. Tahun 2006

5.9K 582 103
                                    

Nabastala agak mendung pagi itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nabastala agak mendung pagi itu. Laju angin dengan kecepatan sedang mampu membuat daun kering beterbangan. Buliran embun yang memberi ciuman pada tanah menambah kesan sejuk. Sayang, hadirnya baskara tertutup awan, membuat sebagian orang malas untuk menjalani hari. Fajar yang sempat menyapa sekitar pukul enam sudah tenggelam, berhasil menghilangkan semangat para insan yang hendak merajut asa.

Sandy belum berangkat kerja hari itu, masih sibuk mengurus kedua putranya yang masih kecil. Dengan tenang berjalan mengikuti langkah si sulung yang berlari ke sana ke mari tanpa lelah. "Juna, sini dulu, Nak! Pesawatnya ada lagi, mana goa-nya?"

Yang dipanggil mengerem tungkai kecilnya, segera berbalik dan langsung membuka mulut. "Ini Ayah!"

"Pesawat datang!" Sandy tersenyum bangga saat Juna menerima suapan darinya. "Anak Ayah pinter."

Juna kembali berlari menuju sosok yang lebih kecil darinya, berada di ruang tamu dengan lautan kertas gambar yang sudah dibubuhi oleh krayon. "Bintang, kata Ibu kemarin apa? Buah pisang itu cuma boleh dikasih warna kuning sama hijau! Nggak ada pisang yang warnanya merah sama biru!"

"Ish, pokoknya mau kasih warna ini!" Bintang--yang baru berusia tiga tahun--memang agak cengeng. Matanya berkaca-kaca saat kertasnya diambil paksa oleh sang kakak. "Jangan rebut! Ibu!" Bintang berteriak mengadu, langsung berlari pada sosok wanita yang tengah berkutat di dapur, mengubah bentuk kentang yang semula berbentuk bulat tak sempurna menjadi potongan dadu.

Bintang menarik-narik ujung daster yang dikenakan ibunya. Wanita itu--Ratih--berbalik seraya mengusap kepala putra keduanya tersebut. "Juna, adeknya diapain? Kok bisa nangis?"

Juna datang dengan Sandy yang mengekor di belakang. "Bintang cengeng, ah! Kakak, kan, cuma kasih tahu. Sini, Kakak bantu warnai!" Ditariknya tangan Bintang menuju ruang tamu untuk kembali mewarnai gambarnya.

Sandy menyimpan mangkuk bekas sarapan Juna di wastafel, lekas mendekati Ratih yang geleng-geleng kepala melihat interaksi kedua putranya. Juna itu sering sekali membuat adiknya menangis, tetapi dengan cepat juga meminta maaf. Seperti sekarang ini. Juna mengusap air mata Bintang, lalu membantunya memilih warna yang sesuai.

"Gemes, ya, lihatinnya sampai begitu."

Ratih menyambut tangan suaminya yang menyentuh pipi dan tersenyum. "Aku bersyukur banget, Juna tumbuh jadi anak baik. Bintang juga penurut." Ratih mengusap perut buncitnya, tak sabar menunggu hadirnya sosok bernyawa yang masih menyatu dengan tubuhnya. "Nanti dede bayi yang ini bakal gimana, ya?"

Sandy tersenyum lalu berjongkok, ikut mengusap perutnya. "Nak, Ayah sama Ibu udah nggak sabar buat ketemu kamu." Keningnya ia tempelkan pada perut sang istri, seraya memejamkan mata. "Makasih banyak, Nak. Makasih udah buat Ayah sama Ibu sadar kalau keberadaan kamu berharga. Maaf Ayah sempat buat ibu juga kamu sakit."

Ratih geming. Ada rasa sesak yang menghujam saat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Sandy. Senyumnya bahkan memudar, bertepatan dengan tatapan menyesal yang dilempar Sandy.

Melankolia [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang