09. Memang datang lagi

1.9K 328 55
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Pagi-pagi sekali Abim sudah dilanda stress karena kondisi tubuhnya yang tak bisa dibilang baik. Saat subuh datang, ia sengaja tak ikut beribadah bersama-sama, lebih memilih melakukannya di kamar seorang diri. Ia juga tidak membiarkan satu pun keluarganya memasuki kamar, hanya sampai mengetuk pintu di luar.

Bukan apa-apa, Abim hanya tidak ingin orang-orang tahu lalu bersikap panik berlebihan karena saat ini, ia berusaha mengganti sarung bantalnya dengan yang baru setelah noda merah berhasil membuatnya mual. Ia tidak sadar. Bangun-bangun hidungnya sudah dipenuhi oleh darah hingga mengotori bantalnya.

Beruntung ia mengunci pintu membuat Ratih dan Sandy yang biasanya akan masuk-dengan melontarkan perkataan yang sudah bosan didengar-mengurungkan niatnya.

Abim menghela napas setelah selesai melakukan pekerjaannya. Ia menutup keran setelah mencuci sarung bantal dengan mandiri di wastafel. Tangannya memijat pelipisnya yang terasa pening dengan keringat yang menghiasi. Karena subuh sudah berlalu, ia tidak bisa berdiam diri di kamar terus, takut menimbulkan kecurigaan. Maka dari itu, ia memutuskan untuk ke luar kamar dan memasang raut wajah seolah tidak terjadi apa-apa.

Ruang makan sudah dihadiri oleh Sandy sementara Ratih sibuk memasak dengan Bintang yang mencuci piring bekas semalam dengan seragam yang sudah membalut tubuhnya.

Sandy yang sadar akan kehadiran putra bungsunya lekas mengenyampingkan koran yang baru dibaca, seraya melayangkan senyum. "Gimana tidurnya, nyenyak? Sini, duduk di samping Ayah." Tangannya menepuk-nepuk kursi kosong yang ada.

Abim menurut, lalu duduk di samping Sandy dan ikut tersenyum.

"Oh iya, omong-omong semalam kamu kunci pintu kamarnya, kenapa? Masih sebal gara-gara Ayah sama Ibu paksa kamu diperiksa?" Abim menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. "Lain kali jangan dikunci. Takutnya nanti terjadi hal yang enggak diinginkan di sana, kami terhambat nolong kamu."

"Maaf, Yah. Lupa," cicit Abim.

Ratih datang dengan membawa piring berisi masakan matang. Wanita itu kemudian melihat Abim dan tersenyum. "Abim, hari ini jangan sekolah dulu, ya?" lanjut Ratih membuat Abim terkejut. Baru saja ingin protes, Sandy sudah menyerobot lebih dulu.

"Jangan nolak. Ini semua demi kebaikan kamu." Sandy mengusap punggung putra bungsunya. "Kami juga takut, tapi kita harus saling nguatin satu sama lain. Mau, ya?"

Abim menatap manik mata sang ayah, menemukan setitik permohonan agar dirinya menurut. Bilang saja Abim terhipnotis, karena sekarang teruna tersebut mengangguk pelan. "Iya, Ayah."

"Anak pintar, sini Ayah peluk dulu." Sandy merentangkan kedua tangannya, mendekap Abim dengan erat seraya menciumi puncak kepalanya.

Juna baru saja ke luar dari kamarnya dengan rambut yang basah, habis mandi. Selang beberapa menit kemudian, semua anggota keluarga tersebut berkumpul di ruang makan untuk sarapan.

Melankolia [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang