Kesadaran 5

85 20 15
                                    

"William! Kau benar-benar harus menolongku!"

Di sudut taman sekolah yang sama saat pertama aku meminta bantuan pada Will, aku merengek padanya sekali lagi seperti seorang anak kecil yang ingin dibelikan mainan. Untungnya sekolah sudah bubar dan jarang ada orang yang lewat sini. Aku jadi bisa mengekspresikan semua yang kurasakan.

Aku terduduk di tanah bersandar pada pohon, sedangkan Will berdiri sambil melipat tangan. Mata hitamnya melihatku dengan tatapan seolah mengatakan—

"Apa lagi sekarang?" kata Will datar. Alisnya mengangkat satu.

"Aku ditolak ...." Kupeluk lutut dengan pipi yang ditempelkan.

"Oleh?"

"Mimpi."

Will tergelak sampai harus menutup wajahnya seolah perkataanku adalah lelucon yang dapat membuat seseorang tertawa terpingkal-pingkal. "Asa ... Asa ...."

Aku menggembungkan pipi dengan kesal. "Will ...."

"Mudah, kan?" sindirnya.

"Oke, oke! Kuakui kalau aku ini naif, bego, terlalu percaya diri ... kau puas?"

"Bukan aku yang bilang." Will merosot menemaniku yang terduduk di tanah. Tangannya dilipat ke belakang menjadi bantalan sebelum dirinya bersandar ke pohon.

"Will—"

"Kau mau aku melakukan apa?" tanyanya sambil melihatku dari sudut mata. Tawanya sudah luntur digantikan wajah biasanya yang datar. Namun, dapat kulihat samar-samar sudut bibirnya masih terangkat sedikit.

"Bantu aku meyakinkan Mimpi agar dia mau menjadikanku seorang Oneironaut."

"Untuk melakukan itu, kita harus terhubung. Kau yakin ingin berhubungan denganku terus menerus?"

"Memangnya kenapa?"

"Kau tidak merasakannya? Sangat sedikit orang-orang yang ingin berinteraksi denganku. Di belakangku, mereka bilang aku ini dingin, menyebalkan, atau apalah itu." Will mencondongkan tubuhnya ke depan. Ditumpunya kepala dengan satu tangan di lutut. Memangnya aku tidak tahu?"

"Memang, sih—" Aku buru-buru membungkam mulut sebelum mengatakan hal yang aneh-aneh. Will hanya menatapku datar sebelum menyeringai seram.

"Ah, kau juga bahkan berpikiran sama. Senang mendengarnya."

"Bu ... bukan, bukan begitu ...." Aku menggeleng cepat sambil mengibas tangan di depan wajah berharap itu dapat mengusir pikiran buruk Will terhadapku. "Aku tidak masalah berteman dengan siapa pun, bahkan dengan orang sepertimu—" Aku salah bicara lagi.

Will tersenyum menggoda. "Sepertiku?"

"Po ... pokoknya, tolong bantu aku ...." Aku menunduk; menyembunyikan wajah di antara lutut.

"Baiklah. Pertama, kita harus bisa mengesampingkan semua perbedaan. Kita harus punya minimal satu persamaan agar bisa tersinkronisasi di Unrealm."

"Uhm, kita sama-sama manusia?"

"Belum cukup."

"Katanya minimal satu persamaan!" protesku.

"Kita akan terus bersama, Sa. Mudah bertemu di realitas. Sedangkan di Unrealm keadaannya tidak stabil. Gelombang otak sangat memengaruhi kesadaran kita di sana."

Realitas, dunia ini. "Kesadaran. Dalam level yang lebih substansial, bukannya mengetahui kalau kita berasal dari sumber yang sama saja sudah cukup?" tanyaku sangat penasaran.

Will tersenyum miring seolah senang aku bisa memahami pembicaraan ini. "Memang. Tapi, itu saja tidak cukup. Kita mungkin berasal dari satu sumber kesadaran yang sama. Seperti air yang ditumpahkan melalui jaring-jaring. Pori-porinya akan memecah air itu menjadi banyak bagian. Kesadaran yang terpecah saat dilahirkan ke realitas akan membentuk kesadaran individu baru yang dibalut cangkang materi. Mengetahui minimal satu kesamaan di level dunia akan menipiskan cangkang itu dan kesadaran kita bisa bersinkronisasi di Unrealm. Semakin banyak persamaan, semakin stabil saat kita bersama di sana."

Inside Dream (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang