Kesadaran 12

39 12 15
                                    

Saat aku bangun di pagi hari, badanku sakit bukan main. Rasanya seperti habis kecelakaan mobil. Memang tidak ada bekas biru karena memar, tetapi sensasi dari Unrealm masih terasa. Aku meringis beberapa kali karena sensasi sakit yang hilang-timbul. Nyeri di bagian perut bahkan mulai terasa sampai aku harus meringkuk di tempat tidur.

Setengah jam aku bergelung. Tadinya aku mau bolos sekolah kalau sakit ini tidak kunjung usai. Namun, sepertinya aku memang tidak diperbolehkan bolos barang sehari pun. Baru saja aku menarik selimut untuk tidur kembali, sakitnya hilang.

“Sial ....”

Lagi pula kalau aku bolos, kasihan Kak Danny yang sudah membiayaiku selama ini. Aku jadi tidak enak. Dengan tubuh berat karena malas, aku pergi ke kamar mandi untuk bersiap ke sekolah.

...

Will menyambutku dengan sekotak bekal makan ketika aku tiba di bangku dan langsung menempelkan pipi ke meja (walaupun rasa sakit sudah hilang, tapi lelah masih ada). Dia menyodorkan kotak itu dengan wajah datar sambil berkata, “Untukmu. Mama bersikeras membuatkan untukmu juga.”

Aku mengernyit. “Tumben.” Will hanya mengangkat bahu.

Kuterima bekal itu dengan senang hati karena aku memang belum sempat sarapan. Saat aku buka, macam-macam lauk menyambut. Mulai dari ayam goreng, telur mati sapi, tempe goreng, dan sayuran berupa tumis kangkung. Aku meneguk ludah sebelum mereka berhasil menetes.

“I ... ini benar buatku, ‘kan?” tanyaku ragu-ragu.

“Iya, Asa,” jawab Will dengan nada kesal. Diberi lampu hijau untuk kedua kalinya, aku langsung memakannya dengan lahap.

Tepat saat bel masuk berbunyi aku baru habis seperempatnya. Kuhabiskan sisanya bersama Will saat istirahat. Aku bahkan menolak ajakan Luca dan kawan-kawan ke kantin. Biar saja dia mulai tidak suka denganku, masih ada Gema yang bisa kuajak main. Untungnya, cowok itu kini sudah mau keluar kelas walaupun masih menghindari orang-orang macam Luca. Aku jadi tidak perlu khawatir lagi dengannya.

Sepulang sekolah, aku dan Will mengunjungi rumah sakit. Sudah beberapa hari aku tidak menengok Kak Danny. Semoga saja tidak ada kejadian yang tidak diinginkan menimpa Kakak selama aku tidak ada.

Will mengekor dari belakang tanpa suara. Tidak ada pertanyaan basa-basi. Aku bahkan sempat lupa kalau Will ikut saking senyapnya cowok itu. Dia baru bersuara ketika kami sampai di kamar Kak Danny dan mendapati seorang wanita sedang menungguinya.

“Kak Mindy?” Aku dan Will bertanya bersamaan.

“Asa. Ada William juga.”

Will mengambil tempat duduk di sofa, sedangkan aku duduk di samping kasur Kak Danny menghadap Kak Mindy. “Kakak sudah lama?” tanyaku basa-basi.

“Yah, cukup lama. Bagaimana sekolah kalian?”

“Biasa saja,” jawabku.

“Kulihat, kau sudah punya teman, Will?” Kak Mindy melihat Will dengan senyuman menggoda. Sementara orang yang ditanya hanya memalingkan wajah sambil bersungut-sungut tidak jelas.

Cowok itu akhirnya menjawab singkat, “Ya.” Kak Mindy tergelak setelahnya.

Aku memotong tawanya. “Kak, sebenarnya kami mau menjenguk sebentar—”

“Kenapa buru-buru?” tanya Kak Mindy.

“Kami akan menyelamatkan Kak Danny secepat mungkin.”

“Oh. Kalau begitu cepat lakukan. Kita tidak mau melihat Danny seperti ini terus.” Kak Mindy bergantian melihat kepadaku dan Kak Danny. Aku mengangguk.

Inside Dream (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang