Kesadaran 1

204 35 86
                                    

Pagi hari, jalanan macet, dan cerita ini diawali dengan sebuah pekikan.

"Kak Danny, pelan-pelan!!!"

Aku berteriak sekencang mungkin agar orang yang ada di depanku setidaknya mengurangi kecepatan motor sport-nya. Di tengah jalan raya yang padat dengan kendaraan lalu-lalang, Kak Danny meliuk-liukkan motornya dengan gesit tanpa menghiraukanku yang sedang jantungan di jok belakang.

"Kakak sudah telat, Sa!" jawab Kak Danny dengan fokus masih ke jalanan. "Kamu enak masuknya setengah jam lagi. Lah, Kakak sepuluh menit lagi!"

"Ya, itu kan, salah Kakak kenapa bangunnya telat!" sahutku dengan suara yang terdistorsi angin. Kak Danny menambah kecepatan sehingga aku harus memeluknya erat agar tidak tersentak ke belakang.

"Kamu sih, malah ajak main game sampai malam!" timpalnya tak mau kalah.

"Lah, kok, aku?!" protesku tidak terima.

Tanpa jawaban lebih lanjut, Kak Danny menambah kecepatannya lagi. Suara klakson kendaraan bersahutan mengiringi. Lima menit kemudian, aku sudah berada di depan gerbang sekolah. Kakakku mengerem dengan tiba-tiba sampai kepalaku menabrak punggungnya. Dengan kaki yang masih lemas karena syok dibawa dalam kecepatan tinggi disertai jantung yang berdegup kencang, aku turun perlahan.

"Kakak duluan ya, Sa!" teriak Kak Danny yang langsung melaju cepat, meninggalkanku yang masih menstabilkan diri.

"Kak, helmnya ketinggalan!" Aku memekik sambil mengacung-ngacungkan helm berwarna hitam yang sedari tadi kupakai. Namun, sepertinya Kak Danny sudah tidak mendengarku.

Aku tersadar kalau kelakuanku dengan Kak Danny di pagi hari itu telah memancing perhatian banyak orang. Berbagai pasang mata menatapku yang sudah membuat keributan bahkan sebelum bel tanda masuk berbunyi. Dengan malu yang sebisa mungkin kutahan, aku berjalan menuju kelas seolah tidak ada yang terjadi.

Murid-murid berseragam putih-hitam lalu-lalang di koridor. Mereka memakai rompi sekolah berwarna cokelat atau mengenakan jaket karena kedinginan akibat udara pagi sepertiku. Beberapa dari mereka menyapaku saat aku lewat. Di sini, aku cukup dikenal sebagai adik dari seorang anggota Kepolisian Khusus Altherra yang menangani banyak kasus yang tidak umum (aku tidak akan menyebutkan contohnya karena itu tidak penting). Hanya mereka yang memiliki bakat istimewa yang dapat diterima. Dan, Kak Danny adalah salah satu dari segelintir orang itu. Aku terkadang diajak mengobrol hanya untuk membicarakan hal-hal terkait kakakku, seperti saat ini.

Seorang cowok tinggi datang menghampiri. Aku mengenalnya sebagai teman dari kelas sebelah yang sok kenal, sok dekat denganku. "Hai, Sa!" sapanya sambil merangkulku. "Tadi itu kakakmu, 'kan?"

Aku mengangguk. "Iya. Siapa lagi?"

"Ya ... bisa saja yang lain, 'kan?" Dia tertawa canggung. "Eh, seperti kataku waktu itu ... kapan-kapan, aku bisa main ke rumahmu untuk mengobrol dengan kakakmu, 'kan? Aku ingin minta tips-tips bagaimana lolos seleksi Shadows!"

"Kapan-kapan," jawabku malas. "Kak Danny sibuk bekerja. Dia jarang punya waktu luang. Jadi, nanti saja kalau dia ada waktu, ya? Akan kuhubungi kalau tidak lupa."

"Oke, lah," jawabnya dengan nada kecewa. Dia menepuk bahuku dua kali lantas melepas rangkulannya dan kembali ke tempat dia muncul.

Aku mengembuskan napas lega. Kupercepat langkah agar lekas sampai di kelas dan tidak perlu lagi bertemu gangguan seperti barusan.

Ruangan serba putih dengan interior serba modern menyambut. Kerumunan siswa-siswi membentuk kelompok di berbagai sudut. Kelas ternyata sudah cukup ramai ketika aku tiba. Suara gaduh memenuhi ruangan. Mulai dari para cowok pemalas yang meminta sontekan satu sama lain; cewek-cewek tukang gosip di pojok; sampai gamer maniak yang sudah mengajak bicara tentang item yang baru didapatnya tadi malam.

Inside Dream (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang