Kesadaran 11

49 12 14
                                    

Gema tampak lebih cerah dari yang kemarin. Mungkin karena akhirnya dia dapat tidur dengan nyenyak dan bermimpi indah, walaupun aku tidak tahu apakah masalah yang dihadapinya sudah selesai.

Setelah basa-basi sedikit tentang mimpi samar-samar yang diingatnya; ada orang yang mirip aku tapi lebih ganteng, kekar, keren, dan tetek bengek lainnya yang dapat membuat kepalaku besar kalau itu memang terjadi, aku dan Gema menjalani hari dengan biasa. Tidak ada hal istimewa terjadi setelahnya.

...

Ujian kelulusan dengan Somnium. Aku tidak sabar ujian macam apa yang akan diberikan Entitas Mimpi padaku. Apa aku harus melawan Nitemare orang lain? Menghadapi “Kak Danny” seperti yang sudah-sudah? Atau mungkin ujian yang lebih sulit? Aku yakin yang terakhir. Aku hanya berharap dapat menyelesaikan ini dengan cepat dan mendapat A+.

Will memanggilkan Somnium untukku karena aku lupa dengan kalimat pemanggilannya. Dia menggerutu dan mengataiku beberapa julukan meskipun akhirnya tetap memanggil Mimpi.

“Lain kali hafalkan sendiri. Kita tidak mungkin terus bersama seperti ini, tahu?” kata Will kesal.

“Kalau aku mau kita terus bersama, bagaimana?” sahutku.

Pipi Will merona sesaat. “Terserah,” timpalnya sambil memalingkan wajah. “Lagi pula, cepat atau lambat kau harus belajar bersikap mandiri.”

Mimpi datang tak lama kemudian. Dia langsung menyambutku dengan satu pertanyaan, “Kau siap, Asa?” Aku mengangguk ragu. Somnium lantas berkata dingin, "Hadapi ketakutan terbesarmu."

Mimpi mengayunkan tangannya seperti saat Will menggunakan reset. Seiring dengan itu, bentang mimpi di sekitarku meluruh digantikan oleh lingkungan dan keadaan yang sangat familier. Rumahku saat Ayah dan Ibu masih ada.

Sofa-sofa mengelilingi meja kayu rendah. Foto-foto keluarga terpajang di dinding. Di salah satu kursi, duduk kakakku yang saat itu masih berumur tiga belas tahun sedang diomeli oleh Ibu sambil tertunduk. Dia dimarahi karena mengaku memecahkan vas bunga yang ada di meja, padahal aku—umur lima tahun, masih hiperaktif dan susah diatur—yang melakukannya. Kakak sesekali melirik padaku yang bersembunyi di balik pintu kamar. Sudut bibirnya terangkat, tapi jatuh lagi karena sentakan Ibu. Sebenarnya Ibu tidak bisa disebut galak, beliau hanya tegas.
Ruang  tamu kami berada pun berdenyar, aku berada di tempat dan situasi yang lain.

Kamarku sebelum Ayah membeli kasur tingkat. Kak Danny sedang terbaring sakit dengan kaki kanan yang terbalut gips. Ada kain yang digulung untuk menjaga kakinya agar tetap terangkat. Seingatku, Kakak bisa sampai seperti itu karena ulahku juga. Aku yang memanjat pohon dan tidak bisa turun menangis. Kak Danny mencoba memanjat naik untuk mengambilku yang tersangkut di pohon. Susah payah dia menggapai-gapaiku, tapi tidak sampai hingga akhirnya Kak Danny sendiri jatuh dan aku menimpanya tepat di kaki, membuatnya patah seketika. Aku jadi ikut meringis mengingat hal itu.
Aku yang masih lima tahun tidak berani mendekatinya seharian, takut Kak Danny marah. Namun, Kak Danny justru menyuruhku untuk menemaninya. Katanya, dia akan baik-baik saja dan aku tidak perlu mencemaskannya. Aku memeluknya dan meminta maaf, berjanji tidak akan jadi anak nakal sembari menangis tersedu-sedu.

Ingatan-ingatan terus bergulir sampai akhirnya berhenti di sebuah ingatan yang sangat menyakitkan. Kami sekeluarga sedang berada di mobil berniat berlibur. Ayah menyetir, Ibu di kursi samping. Aku dan Kak Danny di kursi belakang berdebat mau naik wahana apa dulu ketika sampai di taman bermain.
Saking hebohnya debat kami—Kak Danny sampai mencubit kedua pipiku—Ayah menjadi tidak fokus ke jalanan. Sesekali beliau melerai kami dari spion tengah. Seperti yang dapat diprediksi selanjutnya. Mobil oleng, kecelakaan terjadi. Kak Danny berhasil melindungiku dengan tubuhnya yang luka-luka. Ayah dan Ibu tidak bertahan saat perjalanan ke rumah sakit.

Inside Dream (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang