Kesadaran 8

61 12 26
                                    

Hari Minggu siang, Will pulang. Dia kembali setelah kami sarapan bersama. Untungnya aku masih punya stok beberapa butir telur. Will dan aku sama, kami menyukai telur mata sapi dengan bumbu kaldu ayam kering ditambah lada—oke, itu tidak penting. Namun, itu setidaknya menambah daftar persamaan kami.

Aku memutuskan pergi ke rumah sakit menjenguk Kak Danny setelah sarapan, berbenah rumah dan minta dipijat Will sebentar karena pegal akibat dari pertarungan di Unrealm. Itu benar. Aku tidak menyangka rasa sakitnya akan terasa sampai ke realitas.

"Ah ... ya, ya di situ, Willl ...." Dengan tangan kekarnya, Will memijat bahuku dengan nikmatnya. Tenaganya sangat terasa merelakskan otot-ototku. "Ah ... Will, enak ...."

"Berhentilah membuat suara-suara yang ambigu!" Will mengencangkan pijatannya—lebih seperti cengkeraman—membuat aku merintih memohon ampun.

"Aw ...." Aku mengusap-usap bahu yang sudah mulai membaik. "Makasih, Will."

Kami beranjak dari kasur yang menjadi tempatku dipijat. Selepas percakapan tidak penting betapa aku ingin dipijat lebih lama lagi oleh Will kapan-kapan yang ditanggapi oleh cibiran, cowok itu berkemas lalu pulang.

"Kita akan bertemu lagi malam ini," kata Will sebelum menutup gerbang rumah dari luar. Aku melambaikan tangan dari teras. Will membalas sambil tersenyum sekilas.

Setelah memastikan kompor dimatikan dan tidak ada air yang mengalir di kamar mandi, aku mengunci pintu lantas pergi ke rumah sakit. Hari Minggu biasanya rumah sakit membatasi beberapa layanan, tetapi tidak bagi UGD dan kunjungan. Lagi pula tidak mungkin mereka mengabaikan pasien koma.

Sepanjang perjalanan, aku memikirkan kembali kata-kak "Kak Danny" yang membuatku sakit. Benarkah aku beban? Benarkah kakakku sendiri membenciku? Apakah selama ini, senyumnya yang selalu ditunjukkan itu cuma topeng?

Aku sebisa mungkin mengenyahkan pikiran itu dari kepala. Bagaimanapun, Kak Danny adalah satu-satunya keluarga yang kumiliki.

Rumah sakit tampak lengang. Tidak banyak staf yang bekerja di hari Minggu. Bahkan saat aku di kamar Kak Danny, tidak ada suster yang menjaga—atau hanya kebetulan saja sedang tidak ada.

Aku terpaku di depan ranjang Kak Danny, lagi-lagi pikiran buruk itu menyerang. Melihat langsung Kak Danny di depan dan membayangkannya terbangun lantas berkata seperti sebelumnya membuatku tidak bisa apa-apa.

Bocah menjengkelkan manja yang selalu menjadi beban hidupku!

Selalu minta ini-itu tanpa memikirkanku yang lelah bekerja!

Mimpi buruk. Nitemare.

Sebisa mungkin kutegarkan hati. Somnium bilang, hanya mereka yang dapat melenyapkan mimpi buruk sendiri yang pantas menjadi seorang Oneironaut dan menghancurkan mimpi buruk orang lain. Oleh karena itu, aku harus bisa menghadapi kakakku sendiri. Demi Kak Danny.

Dengan perlahan, aku mendekati ranjang itu. Kusimpan tas selempang di lantai lantas mengambil tempat di kursi samping Kak Danny.

"Tadi malam aku berhasil bersinkronisasi dengan Will," mulaiku. Aku bercerita seolah Kak Danny bisa mendengarku saja. Namun, tak peduli akan hal itu, aku melanjutkan. "Oh, ya. Will itu temanku, adik sepupunya Kak Mindy, teman Kakak."

Aku menghela napas. Will bilang yang kutakutkan bukan Kak Danny, melainkan apa yang dipikirkannya tentangku. Harus kuakui, dia benar. Sejak orang tuaku meninggal dan Kak Danny yang menjadi tulang punggung, pemikiran aku yang menjadi beban selalu menghantui.

"Setelah aku berhasil menguasai kekuatanku sebagai Oneironaut, kupastikan Kak Danny akan sadar lagi!"

Setengah jam kemudian setelah aku mengoceh tidak penting, aku pulang. Aku tidak ingin diganggu Nitemare-ku sendiri karena berada di dekat Kak Danny.

Inside Dream (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang