Ananta dan Mas Gika

4 1 0
                                    

Terik matahari terasa menyengat kulitku kali ini, mungkin karena aku belum memakai sun screen sewaktu berangkat tadi. Apalagi kegiatan mahasiswa yang cenderung out door membuatku semakin tidak tahan dengan panasnya. Aku mengusap peluhku kasar, seraya menghela nafas. Ya, panas dan haus menjadi satu.

"Napa lo, Ta?" tanya Nara, temen seorganisasiku. Di oranisasi ini mungkin hanya Nara yang paling dekat denganku. Bukan karena aku sulit bergaul, melainkan anak universitas disini orangnya pemilih, apalagi jika menyangkut teman. Harus kayalah, harus pintarlah, harus cantiklah, dan itu semua sangat toxic.

"Panas,haus..Liat nih kulit gue udah merah-merah karena kelamaan kena panas matahari." jelasku kepada sambil mengipas-kipasi wajahku dengan tangan.

Nara berdecak dan mengalihkan pandangan kearah Gio, si ketua organisasi. "Emang keterlaluan si Gio! Dia yang punya proker, kita yang ngelakuin. Pengen banget gue tonjok tu wajahnya!" Nara tetap misuh-misuh tidak jelas. Mungkin karena si ketua hanya duduk tenang menjadi mandor tanpa turun tangan.

"Udahlah, Ra. Percuma kita ngomel-ngomel, gak bakal kedengeran orangnya." balasku kepada Nara. Setelah kegiatan organisasiku selesai, aku dan Nara bergegas pulang. Rasanya ingin berendam di kolam es dan minum sirup buatan mama. Aku dan Nara berpisah di Halte. Dia sudah masuk ke dalam bis dan aku masih menunggu jemputan.

Tin tin

Pandanganku seketika teralihkan kepada bunyi klakson mobil. Itu dia, Revan, kembaranku sekaligus kakak kandungku. "Lo lama! Gue udah mau pingsan tau..liat nih kulit gue merah-merah dan gosong." keluhku kepadanya. Dia hanya memutar bola matanya malas mendengar ocehanku, mungkin karena ini sudah menjadi kebiasaanku ketika jemputanku tidak on time.

"Gue tadi habis jemput Mas Gika di bandara disuruh papa. Kalo lo mau proktes nanti aja ke papa." kata Revan seraya menjalankan mobilnya. Aku terdiam seketika. Mas Gika? Kenapa Revan yang disuruh papa menjemput dia? Padahal Mas Gika punya keluarga yang bisa menjemputnya. Entahlah, aku tidak ingin memikirkan hal-hal yang tidak penting. Badanku terasa pegal semua, yang terpenting sekarang pulang dan istirahat.

"Ta, bangun. Udah sampe." ucap Revan seraya menggoyang goyangkan bahuku. Aku hanya mendengus dan melanjutkan tidurku tanpa memperdulikan ucapannya. Revan menghela nafas kasar dan membawa tangannya kearah tengkuk dan lututku, dia pasti akan menggendongku. Aku bersorak dalam hati. Sebenarnya aku belum tertidur, tapi aku sangat malas berjalan, rasanya kakiku seperti ingin copot dari tubuh.

"Assalamu'alaikum." salam Revan dan memasuki rumah bertingkat 2 ini. Aku melirik sebentar kearah ruang tamu, seperti ada orang. Aku jadi menyesal karena berpura-pura tidur, pasti sebentar lagi akan ada sesi tanya menanya.

"Loh-loh ini Ananta kenapa, Van? Dia sakit?" tanya mama dengan tidak santai. Beliau pasti sedang mengkhawatirkan anak perempuan satu-satunya ini.

"Ketiduran, Ma. Gak bisa dibangunin, jadi Revan bawa aja." balas Revan kemudian melanjutkan langkahnya.

"Yaudah bawa ke kamarnya gih! Mas Gikanya biar sekalian istirahat dulu." Sahut mama.

Mas Gika? Jadi masih disini? Untuk apa?

***
Suara adzan membangunkanku. Aku melirik sebentar kearah nakas, jam 6 sore. Aku bangkit dari ranjang dan segera mengambil mengambil wudhu. Suara ketukan pintu membuatku urung untuk memulai sholat. Lagian siapa sih yang mengetuk pintu diwaktu yang tidak tepat?

Tok tok

Ceklek

Aku terkejut lantaran wajah Mas Gika yang pertama kali kulihat. Apalagi dia langsung tersenyum manis kearahku.

"Astagfirullah!" Aku segera menetralkan jantungku dan melirik kearahnya tajam. "Mas apa-apaan sih! Kaget tau Ananta!" lanjutku bersungut-sungut kepadanya.

Coretan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang