Sekilas Tentang Haris

2 1 0
                                    

Aku mengemasi barang-barangku dikoper. Mulai dari baju, buku, dan peralatan lain yang kubutuhkan. Aku menghela nafas kasar, ini adalah keputusan besar. Aku berharap semua akan berjalan dengan lancar.

Brakk

"Haris?!" Aku terperanjat kaget mendengar teriakan seseorang yang mendobrak pintu kamarku. "Apa yang kamu lakukan, hah?! Apa-apaan ini! Koper, baju, sepatu, dan buku?!" todong Fifi, sahabat kecilku.

Aku mengalihkan pandangan kearahnya seraya tersenyum. "Aku pamit ya, Fi. Aku mau pergi sebentar." kataku dan kembali mengemasi barang-barang yang terlihat belum rapi.

"Kamu mau pergi kemana?! Yaampun, Ris, kalau aku punya salah ngomong, jangan asal minggat aja! Aku hampir gila waktu tante Asya bilang, kamu gak bantuin Haris kemas-kemas, Fi?"

Aku terkekeh mendengar ocehannya. "Aku bukan minggat, Fi. Aku cuma pergi sebentar cari pengalaman baru. Lagian kamu gak akan gila kalau aku tinggal sebentar." balasku kepadanya.

"Sama aja! Intinya kamu minggat. Apa kamu bilang? Sebentar? 2 tahun itu lama, Ris! Jangan bercanda deh...kamu mau cari pengalam apa lagi sih? Bukankah kamu udah dapet semuanya? Uang, pekerjaan, dan semuanya ada, Ris. A..atau kamu masih punya hutang sama Pak Samad terus butuh uang? Aku bisa pinjami kamu kok. Gak usah dikembalikan juga.."

"Stop-stop, Fi." potongku cepat pada ucapannya. Aku meraih kedua jemarinya, halus seperti biasa. Mungkin karena Fifi tipe wanita yang suka merawat dirinya. "Aku gak punya hutang, Fi. Aku cuma ingin naik level dari Haris yang sekarang. Aku ingin perjuanganku berlanjut, bukan cuma sampai sini. Aku mau cari pengalaman hidup sebanyak-banyaknya sebelum semuanya terlambat."

"Terlambat?" beonya.

"Ya, sebelum masa mudaku habis." kataku sambil menatap mata indahnya. Fifi mendongakkan kepalanya, aku tahu dia sedang menahan air mata yang mencoba keluar.

Dia melepaskan genggaman tanganku seraya memalingkan wajahnya kearah lain selain aku. Aku tersenyum. "Kita gak selamanya kayak gini, Fi. Adakalanya aku dan kamu harus berpisah untuk meraih mimpi yang kita inginkan. Dan pastinya, mimpi itu gak sama."

Dia menghela nafas, "Iya aku faham. Tapi kamu setidaknya cerita dulu, bukan asal main pergi. Bahkan kalau aku gak kesini tadi, mungkin kamu juga gak akan pamitan." ucapnya yang membuatku merasa bersalah.

"Karena aku tahu ini yang akan terjadi jika kau kasih tahu kamu, Fi. Kamu pasti akan cari seribu cara untuk tidak membiarkanku pergi. Benar bukan? Ini lagi, kenapa sekarang malah mewek?" Aku bergegas mengambilkannya tisu.

Fifi mengambil tisu dari tanganku dan mengahapus air matanya kasar. "Aku cuma bingung. Ini terlalu mendadak." Bahunya luruh, dia terlihat pasrah kepada keputusanku. "Kali ini kupastikan aku tidak menghalangimu, Ris. Silahkan..apapun keputusan kamu." lanjutnya.

Aku memegang bahunya, memberinya kekuatan. "Satu kali pelukan sebelum berpisah sepertinya tidak buruk, benar bukan?" Mendengar tawaranku Fifi segera menubruk badanku. Dia memukul dadaku begiku kuat sampai aku meringis dibuatnya. Oke, kali ini aku mengalah, mungkin dia butuh pelampiasan untuk rasa kesalnya padaku.

***

Dua minggu berada di kota ini aku terlihat asing. Mulai dari kebiasaan, cuaca, dan suasananya yang sangat berbeda dari kota kelahiranku. Aku menghela nafas, ini sudah menjadi keputusanku, maka aku harus bisa mengusahakan dan bertanggung jawab. Selesai memasukkan beberapa buku di tasku, aku segera keluar dari apartemen. Hari ini jadwalku mencari kedai kopi untuk kujadikan tempat pencarian ide dari tulisanku. Untung-untung lagi ada diskon, bisalah mengirit pengeluaran.

Hari ini aku memutuskan untuk berjalan kaki menyusuri kota ini. Rasanya berjalan kaki memberikan efek menenangkan sembari menatap gedung-gedung tinggi dari bawah. "Kakak, kakak!" panggil anak kecil di sampingku. Aku menatapnya dengan heran, menatap pakaian yang dia kenakan, apakah anak ini tidak bersekolah?

Aku menunduk guna menyamakan tinggi dengannya. "Ya, ada apa, cantik?" jawabku seraya mengelus rambut hitam yang tergerai indah. Anak kecil itu tidak langsung menjawab pertanyaanku, melainkan dia memainkan kedua jarinya. Dia menunduk, seperti ingin berbicara tapi takut.

Aku tersenyum kearahnya, "Ada apa? Katakan saja, jangan takut." kataku dengan lembut. Dia mendongakkan kepala dan mengerjabkan matanya, mungkin sedikit terkejut dengan responku yang lembut. Memangnya bagaimana biasanya orang-orang disini?

"Ehm.. kakak orang baru ya? Maksudnya pendatang?" tanya anak kecil itu dengan hati-hati. Aku menganggukkan kepala. Dia terlihat faham maksudku, "Ehm..jangan jalan kaki disekitar sini, kak. Banyak preman. Nanti semua barang bawaan kakak bisa di jambret." lanjutnya dengan terus melihat kearah kanan dan kiri, sepertinya dia takut sesuatu.

"Memangnya kamu sendiri gak takut? Kamu masih kecil loh.." balasku. Dia menggelengkan kepala. Aku sedikit kaget dengan jawabannya, anak sekecil ini tidak takut jika dihadapkan preman? Oke mari kita berfikir dari sudut pandang berbeda Haris.

"Anak-anak sini udah biasa kak sama preman, mereka udah gak takut. Tapi ya gitu, kalau kita punya uang, uangnya pasti diminta dan kita gak bisa ngapa-ngapain, dikasihkan aja sama mereka." ucap anak kecil didepanku. Aku merasa miris mendengar penuturannya. Bagaimana bisa mereka bekerja keras dan hasilnya mereka berikan kepada preman? Dan diwaktu anak lain bersekolah menuntut ilmu, mereka harus bekerja hanya untuk sesuap nasi. Rasanya aku ingin menangis mendengar hal seperti seperti secara langsung.

Aku hanya tersenyum, bingung mau menjawab apa. Aku takut semakin bertanya maka aku semakin menyingungnya. Pandanganku teralihkan kepada dagangan yang dibawanya, air mineral. Kurasa dengan membeli air mineral ini bisa sedikit membantunya. "Itu air mineralnya dijualkan?" tanyaku.

Dia mengangguk semangat. "Kakak mau beli?" balasnya penuh harap. Aku mengangguk dengan senyuman. Melihat dia sebahagia ini karena dagangannya laku membuat sebagian diriku tersentuh, apakah aku kurang bersyukur dengan apa yang diberikan Tuhan? Aku segera merogoh kantung dicelana yang kupakai. Memberikan uang lima puluh ribuan kepadanya.

Dia sedikit terkejut melihatku memberikannya uang lima puluh ribuan. "Ini harganya cuma lima ribu, kak." katanya. Aku menarik tangan kecilnya dan memberikan uang lima puluh ribuan itu. Dia sempat menolak, tapi aku tetap memaksanya. Aku sangat lemah jika menyangkut dengan anak-anak. Kehilangan adik laki-laki diumur 10 tahun membuatku selalu merasa teriris jika melihat anak seusia adikku tanpa pengawasan orang tua.

Anak kecil itu mengucapkan banyak terimakasih kepadaku. Dia juga memberiku 3 botol air mineral. Setelah kepergiannya, aku meneruskan langkahku. Kembali menyusuri kota ini dengan senyuman. Aku sadar, selama ini aku kurang bersyukur sehingga selalu merasa kurang dan kurang. Betapa beruntungnya aku dilahirkan dengan kedua orang tua yang lengkap dan sangat peduli terhadapku, aku jadi merasa sedikit menyesal meninggalkan ibu dan bapak di desa. Tapi ini juga demi mereka, aku ingin membuat mereka bangga bahwa anak satu-satunya telah meraih impian.

***

JANGAN LUPA VOTE, COMMENT, AND SHERE... SEE YOU NEXT TIME GUYS...

Kedirir, 27 November 2021

TBC

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 27, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Coretan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang