Hilang

6 1 0
                                    

Hari ini langit sangat mendung, aku jadi ragu untuk keluar sekedar mengantarkan makanan untuk bapak di sawah. Rumahku memang dekat dengan area pematang sawah. Bahkan jika hujan deras tiba pasti akan banyak orang terjatuh ketika berjalan atau naik motor. Disini kami jauh dari kebisingan kota, dan, yah, teknologi belum semaju di kota. Penggunaan internet pun bisa dihitung dengan jari.

Tiba-tiba bunyi petir bergemuruh masuk dalam indra pendengaranku. Perasaanku mendadak tidak enak, semoga semua baik-baik saja. Hujan ini mendadak sekali, padahal setengah jam lalu langit sangat panas. Akhirnya niat menyusul bapak kuurungkan, aku tidak seberani itu untuk menerobos hujan apalagi ini bercampur dengan petir.

Tok tok tok

“Gendis, buka! Cepat, Gendis!” Aku mengkerutkan kening mendengar suara Satya berteriak seperti itu, ada apa? Segera kuraih jilbab di meja dan menghampirinya. Dari suara Satya dia terlihat sangat panik, tapi ada hubungan apa malah menghampiriku.

Ceklek

“Ada apa, Sat?” tanyaku dengan perasaan mendadak gusar entah apa penyebabnya.

“Ya Allah, Alhamdulillah cepat kamu buka, ndis. Bapak! Bapak, Ndis!” katanya dengan panik. Aku semakin tidak mengerti maksud Satya. Dia berbicara sangat cepat dan tidak jelas karena suaranya bercampur hujan yang masih deras.

“Apa maksud kamu, Sat?! Bapak? Bapak kenapa?!” balasku.

Tanpa persetujuanku, Satya menarik lenganku dan menuju sawah. Perasaanku semakin kalut, Satya tidak menjelaskan apapun dan dia langsung membawaku ke sawah. Dari kejauhan aku melihat begitu banyak orang bergerumbul mengelilingi sesuatu. Dari sini aku mencoba menghilangkan bayangan buruk yang tiba-tiba hingggap di fikiranku. Tidak mungkin!

Aku menghentikan langkahku dan Satya seketika menoleh ke belakang. “Kenapa, Ndis?! Ayo cepat!” ucap Satya tetap dengan paniknya. Dia kembali meraih tanganku paksa dan membawaku mendekati orang-orang yang sedang bergerumbul.

Tapi aku tetap menghentikan langkahku, aku butuh kepastian sebelum ke sana. "Jelaskan padaku ada apa?! Apa yang terjadi dengan bapak, Satya?! Kenapa mereka bergerumbul, hah!”

Satya bergeming dan mengalihkan pandangannya kearah lain. Bahkan dia tidak lagi menatapku atau memaksaku menuju arah orang-orang yang sedang bergerumbul.

Dia menghela nafas kasar, “Ba..bapak tersambar petir.” Lirihnya yang masih kudengar. Aku membeku seketika, tersambar petir? Tanpa menunggu lebih lama lagi aku segera menghampiri mereka.

Nafasku tercekat seketika melihat pemandangan di depanku. Seseorang yang sangat kucintai terbujur kaku di sana, dia bahkan tidak mau membuka matanya untuk putrinya ini. “Bapak!” teriakku dan segera memeluk tubuhnya.

Aku menepuk-nepuk pipinya berharap dia akan bangun seketika. Bahkan telapak tangannya juga ku gosok-gosok supaya dia mendapat kehangatan, tapi tetap sama, dia tidak mau bangun.

“Bangun, bapak! Bapak mau ninggalin Gendis sendiri?! Bangun! Bangun hiks hiks..” racauku dengan menggoyang goyangkan tubuhnya. Kenapa secepat ini? Bahkan aku belum melihat senyumnya hari ini dan dia meninggalkanku. Ini salahku seandainya aku bisa mengantarkan makanan tadi dan menyusul bapak, mungkin bapak tidak akan terbujur kaku di sini.

Tiba-tiba aku merasakan usapan lembut di bahuku, pasti Satya. “Ikhlas ya, Ndis.” Aku menggelengkan kepala. Hanya bapak yang ku punya, lalu siapa yang akan menjadi semangat dan sandaranku? Ibu pun sudah lama tidak ada kabar setelah 3 tahun lalu setelah memutuskan cerai dari bapak. Mungkin beliau sudah menikah lagi dan memiliki anak.

Aku sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu, aku hanya ingin kabar. Apakah memberi kabar keluarga lama sesusah itu?

***

Coretan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang