Duapuluh

9 2 0
                                    

Detik berganti detik. Jam berganti jam. Hari berganti hari. Hari ini adalah dua hari terakhir mereka libur sekolah. Dua Minggu juga Selatan dan saudara-saudaranya berada di rumah Venus.

Siang ini matahari bersinar terik. Teman-teman Venus dan teman-teman Selatan sedang berkumpul di halaman depan rumah Venus. Menikmati terakhir hari libur.

Duduk di kursi yang terbuat dari bambu di bawah pohon mangga yang cukup rindang. Di depannya sudah ada buah mangga yang dipotong-potong serta sambal rujak.

Bayu yang memegang gitarnya serta melantunkan beberapa lagu.

“Gak kerasa ya, kita udah mau masuk sekolah lagi,” ujar Vivi yang sedang memotong-motong mangga.

“Iya. Padahal gue masih belum puas rebahan,” keluh Putra.

“Rebahan mulu, lo,” timpal Mutia.

“Enggak kerasa juga gue udah berumah tangga sama Venus.” Selatan berucap asal.

Venus memandang sengit Selatan. Melempar kulit mangga yang ada di hadapannya hingga mengenai wajah mulus cowoknya. “Mulut lo bau azab, Tan.”

“Debat mulu, tuh, Pagader.” Putra berbisik di dekat telinga Mutia. Tapi itu bukan seperti bisikan, karena mereka semua dapat mendengar dengan jelas apa yang diucapkan Putra.

Mutia mengeryit, bingung dengan ucapan cowok konyol di sampingnya. “Pagader, apa dah?”

“Pasangan gara-gara dare!” jawab Putra. Seketika tawanya tergelak diikuti Devano.

“Lucu loeh?” sengit Selatan.

“Lucu lah.” Tangan Putra merangkul pundak Mutia. “Mereka gak se-kyut kita, ya, Beb. Kerjaannya debat mulu.”

“Dih, dasar Patansta,” Selatan ikut-ikutan ingin memeluk pundak Venus namun sebelum tangannya mendarat, tubuh Venus lebih dulu menjauh.

“Patansta apa lagi?” tanya Devano.

“Pasangan tanpa status!” Selatan membalas ejekan Putra beberapa menit yang lalu.

“Ada, kok, statusnya,” kata Sasa.

“Apa?”

“SM,” balas Sasa.

“SM? Agensi?”

Sasa menggeleng. “Bukan. SM, sekedar mantan. Wkwkwk.”

“Sialan loeh!”

“Balikan aja udah. Kalian berdua cocok, kok.” Vivi menimpali namun terdengar dari nadanya seperti mengejek.

“Bacot amat, tu mulut lo, Vi. Diem, mulut lo bau-bau tidak dihargai,” ujar Mutia.

“Gitu, lo, ya, Mut.” Vivi bersedekap dada tidak terima.

“Diem, Petidiga,” Devano menyeletuk.

“Apa lagi, dah?” Gara kebingungan dengan segala singkatan itu.

“Perjuangan tidak dihargai.”

Dan detik berikutnya sendal Vivi sudah melayang dengan sempurna ke kepala Devano. Dan bahu cowok itu sudah pegal-pegal karena dihujani pukulan dari Vivi.

***

Hari sudah berganti malam. Lampu-lampu jalan dan gedung kota sudah menyala dan menampilkan pemandangan yang indah. Bulan bersinar penuh dengan taburan bintang di langit menambah kesan indah pada malam tahun baru.

Di langit terlihat petasan meletus dengan indah. Dari atap rumah Venus terdengar suara ledakan yang lumayan keras, disusul asap warna-warni dalam jangka waktu relatif tak lama.

Gara-gara, Dare!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang