Ibu, Ispirator Pertama Ku

16 0 0
                                    

Hanya berpendidikan setingkat SMP tidak menjadikan nya sosok yang kuper dan kolot. Sebagai seorang Ibu rumah tangga yang harus membantu suaminya dalam masalah keuangan membesarkan anak-anaknya, ibu memilih untuk menjadi seorang tukang jahit. Aku tidak tahu persis kapan beliau memulai kegiatannya tersebut. Saat aku terlahir dan sudah dapat mengetahui apa yang ada disekeliling, aku sudah mendapati ibu sebagai seorang penjahit.

Tak banyak kenanganku bersama ibu, karena masa bersama kami hanya sebentar. Saat aku mengakhiri masa sekolah dasar, ibu pun meninggalkan ku menghadap sang Khalik. Sakit Lever yang diderita ibu membuatnya tak mampu lagi bertahan. Ibu meninggalkan ku beserta lima saudara lainnya. Aku yang merupakan anak ketiga masih memiliki adek-adek yang masih kecil yang masih membutuhkan bimbingan.

Meskipun masa yang kujalani bersama ibu tidaklah lama, tetapi sangat banyak kenangan berharga yang tak dapat kulupakan. Ibu seorang ibu yang sangat perhatian dan menyayangi anak-anaknya. Tidak pernah aku lihat wajah mengeluh saat mengurus anaknya yang masih kecil-kecil. Ibuku sebelumnya tidak mengikuti program keluarga berencana, sehingga anaknya lahir dalam jangka waktu yang berdekatan. Saat melahirkan anak ke enam, anak tertua baru berumur 9 tahun, bisa dibayangkan betapa repotnya ibu mengurus anak-anaknya tanpa ada yang membantu. Tetapi begitulah perjuangan ibu untuk anak-anaknya.

Setelah melahirkan anak ke lima, ibuku mulai mengurangi aktifitas menjahitnya. Dia sudah mulai membatasi jumlah orang yang minta jasa jahitnya, sampai akhirnya ibuku berhenti menerima upahan jahit setelah melahirkan anak keenam. Selain karena kerepotan mengurus kami anaknya. Sebagai anak perempuan kedua, aku sudah di didik ibuku untuk pekerjaan rumah. Saat kelas tiga sekolah dasar aku sudah pandai menanak nasi dan memasak masakan yang sederhana seperti masak telur dadar ataupun masak sayur bening.

" Airnya cukup dua ruas jari telunjuk ," ibu mengajari saat aku disuruh menanak nasi. Dan takaran itu memang pas untuk memasak nasi.

Setiap hari minggu atau hari libur, ibu mengharuskan kami yang putri mempunyai tanggung jawab kerja masing-masing. jika hari sekolah kami hanya diminta bantuan seperlunya saja. Aku selalu mendapat bagian membantu memasak, biasanya memotong sayuran sampai membantu ibu mengaduk masakan. Hal yang tidak kusukai saat itu adalah ketika aku harus membantu ibu masak gulai. Masakan itu harus selalu di aduk agar tidak pecah santan(istilah ibuku agar kuah santan tetap kental).

" Jangan sampai berhenti ngaduknya sebelum mendidih, " kata ibuku
" Emangnya mengapa tak boleh berhenti ?", tanyaku sambil terus mengaduk
" Kalau berenti, nanti pecah santan, gulainya jadi encer dan jadi kurang enak rasanya," ibu menjelaskan panjang lebar

Mengaduk gulai hingga mendidih terasa lama dan membosankan. Tapi dari sana akhirnya aku belajar bahwa untuk mendapatkan hasil yang memuaskan diperlukan usaha dan pengorbanan.

Memasuki usia duabelas tahun, tepatnya saat kelas enam sekolah dasar, ibu mulai mengalami sakit. Beliau tidak bisa terlalu capek dan harus banyak istirahat. Disisi lain pekerjaan rumah tangga yang harus di ditanggungnya sangat banyak dan tidak ada tenaga asisten rumah tangga yang diharapkan. Mengharapkan tenaga anak-anaknya tidak bisa maksimal, ditambah lagi jiwa anak-anak yang sangat menikmati indahnya masa bermain. Ibu mensiasati cara agar pekerjaannya dapat berkurang sedikit. Ibu memintaku untuk tugas menyetrika pakaian anggota keluarga yang lain selain pakaian ibu dan ayah, sebagai imbalannya aku akan diberi imbalan uang yang ditabung dalam celengan.

Sebenarnya tanpa diberi upahpun aku tidak segan mengerjakan tugas tersebut karena aku memang sudah terbiasa . Jika ibu sedang menyetrika, aku sering minta agar aku menyetrika bajuku sendiri dengan maksud untuk belajar. Mungkin karena itulah ibu mempercayakan tugas itu kepadaku. Akhirnya aku dibelikan celengan berbentuk ayam yang berbahan plastik dan setiap aku selesai menyetrika ibu memberikanku dua uang koin masing-masing senilai seratus rupiah yang kala itu sama nilainya dengan lima ribu rupiah uang sekarang dan artinya aku dapat upah sepuluh ribu rupiah setiap menyetrika.

Aku sangat senang saat itu karena aku mempunyai tabungan yang rutin kuisi setiap selesai menyetrika. Disini aku belajar tentang bagaimana memberikan penghargaan atau apresiasi terhadap usaha yang telah dikerjakan. Meskipun terhadap anak sendiri kita tetap harus memberikan penghargaan untuk setiap usahanya tanpa melihat bahwa seorang anak memang sepantasnya menolong pekerjaan orang tuanya.

Tak terasa celenganku sudah semakin berat dan kurasa isinya juga sudah lumayan. Dalam satu minggu aku menyetrika dua kali kadang ada sampai tiga kali. Menyetrika saat itu tidak semudah saat ini, tinggal colokkan setrikaan kelistrik. Saat itu aku harus membakar tempurung dulu dan tak lupa pula diberi alas daun pisang untuk menetralisir panas dan agar pakaian jadi wangi tidak beraroma asap. Hingga suatu hari ibu memanggilku.

" Si, uangnya ibu pinjam ya? Ibu perlu untuk beli obat," kata ibu saat itu
" Iya bu, pakailah tak papa," jawabku dengan menyembunyikan sedikit rasa sedih.
Aku sedih karena aku sudah membayangkan akan membeli sesuatu dari uang tabungan itu. Tetapi aku tidak sanggup menolak permintaan ibu. Sakitnya semakin parah dan memang sering membeli obat.

Saat aku berjuang mengahadapi ujian akhir sekolah dasar, ibupun berjuang melawan sakitnya yang semakin parah. Akhirnya ibu dibawa ayah berobat ke salah satu rumah sakit di Sumatra Barat. Sementara kami adek beradek tinggal di Pekanbaru dan di titpkan jaga dengan mak uwo, kakak abah. Ternyata ibuku menderita pembekakan Hati atau liver. Sakit ibu tak bisa dioperasi karena sudah parah dan ibu dibawa ke kampung tempart nenek. Aku pulang ke kampung setelah menyelesaikan urusan di sekolah beserta kakak dan adekku yang lainnya. Ibu masih berjuang melawan sakitnya, sesekali aku dengar dia merintih kesakitan dan sungguh aku tak sanggup mendengarnya.

Hingga suatu siang, tepatnya tanggal 11 Juni 1987, aku akan kembali ke Pekanbaru untuk urusan pendaftaran masuk SMP. Aku pergi ke kamar menjumpai ibu.

" Ibu, Si pamit mau balek ke Pekanbaru," suaraku bergetar kala itu karena aku melihat betapa tersiksa ibu menahan sakitnya.
" Kenapa balek?", tanya ibu dengan suara yang nyaris tak terdengar karena ibu sedang menahan rasa sakit dibagian perutnya.
Saat aku pamit, ibu sedang bersama nenek yang mengoleskan semacam ramuan obat di perut ibu. Nenek menjelaskan kepada ibu bahwa kepergianku untuk urusan sekolah.

Akhirnya ibu mengizinkan dan akupun mencium tangan ibu.
Tidak pernah aku duga, ternyata itulah saat terakhir kebersamaanku bersamanya. Siangnya aku pergi ke kota, malam harinya ibu pergi menghadap sang Khalik. Aku baru mengetahui kepergian ibu malam besoknya setelah oomku datang dari kampung. Dia mengatakan sengaja tidak mengabari dulu karena kuatir aku akan sedih. Tak ada kata yang dapat aku katakan, hanya air mata yang tiada henti mengalir. Keesokkan pagi aku langsung pulang ke kampung dan menumpahkan kesedihanku di makam tempat peristirahatan terakhir ibu. Hanya doa yang dapat ku ucapkan, semoga ibu diberikan tempat yang layak , diampuni segala dosanya, dihindari dari azab kubur dan azab api neraka. Aamiin. Ibu kasihmu tiada duanya. Engkaulah inspirator sejatiku.

Inspirator HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang