Pertanyaan Beruntun

4 2 0
                                    

"Hehh, gua tuh masih muda ya, jangan panggil Om!!!" protesnya.

"Ya, abisnya Fay kan ga tau nama Om siapa."

Sedetik kemudian ia mengulurkan tangan, "Revandra."

*****

Aku memandangi telapak tanganku, ragu untuk membalas uluran tangannya kemudian aku memasukkan tanganku ke dalam kantong jaket tanpa membalas uluran tangannya, "Fay," jawabku dengan tangan yang masih setia di dalam kantong jaketku.

"Hehh bocah, nggak sopan!" cercanya, protes karena aku tidak membalas uluran tangannya.

"Yang nggak sopan tuh, si Om--"

"Hehh, bisa-bisanya ya lu masih manggil gua Om padahal gua udah ngasih tau nama," tukasnya lagi tidak terima.

"Abisnya enak sih manggil pake panggilan Om," ucapku menahan gelak tawa. Saat ia membuka mulut hendak protes aku segera menyelanya, "ssttt, sabar Om. Bentar biar Fay jelasin dulu ekhem ekhem check," ujarku seolah sedang ingin berpidato.

"Yang pertama, kenapa Fay nggak bales uluran tangan Om karena Fay nggak mau nanti pas waktunya Fay di pindah dari neraka ke surga tiba-tiba dipending terus disiksa lagi karena bersentuhan dengan orang yang bukan muhrim. Terus yang kedua, kenapa Fay manggil Om padahal udah tau kalau namanya Revandra karena bingung yakali mau manggil Revan aja kan nggak sopan terus kalau manggil Kak kayaknya terlalu muda deh kalau manggil Pak juga terlalu tua jadi mending manggil Om aja biar lebih imut--"

"Issh lu--"

"Ssttt ..., bentar Om Fay masih belum selesai. Terus yang terakhir kenapa Fay jawab panjang kali lebar padahal itu nggak penting buat Om, karena semua perbuatan pasti ada alasannya dan Fay pun berhak buat menjelaskan alasan itu tadi. Sekian terima gaji," ucapku kemudian aku membungkukkan badan ala-ala selesai melakukan show di panggung, setelahnya aku duduk di samping Revan lalu menyantap bubur yang sudah dingin akibat terlalu lama berbicara. Mulut Revan ternganga sambil memandangiku seolah sedang memandang takjub hewan langka yang belum pernah ia temukan.

"Lu, umur berapa sih?" tanyanya penasaran sembari mengerutkan kening dan menopang dagu dengan tangan yang bertumpu di paha.

"Kenapa emang? Kata Mama, nanyain umur tuh nggak sopan lhoh," jawabku yang kemudian kembali melahap bubur yang hampir tandas.

"Dalem banget omongannya, kayak orang tua," cibirnya.

"Ciih, bilang aja kalau pemikiran Fay tuh dewasa. Udah, nggak usah malu-malu deh," ucapku dengan bangga.

"Iye-iyee ..., eh bubur ini lu sendiri yang masak?" tanyanya yang kemudian mengambil mangkok bubur yang sedari tadi diacuhkan.

"Kenapa? Enak ya?" tanyaku antusias.

"Enak apanya hambar gini dih." Lagi-lagi ia mencibirku.

"Ya iyalah, namanya juga bubur instan jadi bumbunya seadanya aja," jawabku kemudian berdiri pergi menuju dapur untuk mengembalikan mangkok kotor dan mengambil dua susu kotak di kulkas.

"Nih ...." Aku menaruh susu kotak di atas meja depan Revan lalu duduk. Lagi-lagi ia menatapku dengan tatapan tak percaya, "kenapa lagi, sih?" tanyaku jengah sembari menusuk bagian atas susu kotak dengan sedotan.

"Lu kira gua anak kecil, malem-malem dikasih susu?" sembari memegang susu kotak tersebut.

"Menurut Om, Fay anak kecil?" tanyaku polos.

"Bukan! Tapi anak aneh!"

"Ya udah sih kalau nggak mau biar Fay aja yang minum." Aku merebut susu kotak yang ada di tangannya, menusuk bagian atas kemasan kemudian meminumnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 11, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta dari Sang PenciptaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang