Wattpad Original
Ada 1 bab gratis lagi

Sebuah Kesepakatan

16.6K 2.2K 59
                                    

"Tha ...."

Kirby memanggil sosok perempuan berambut pendek bernama Martha—teman sehidup sematinya sejak mereka masih TK hingga kini nyaris berkepala tiga. Martha Alodia menatap Kirby sambil tetap menyuapi Saka—anak keduanya, yang sedang makan siang. Martha menduga, Kirby sedang pusing memikirkan sesuatu, karena perempuan itu tidak akan ke rumahnya kalau tidak sedang butuh pendapat.

"Apaan? Muka kusut amat."

"Galau, Tha." Kirby memasang wajah menyedihkan, membuat Martha berdecak. Perempuan itu lalu mengelap pinggiran mulut Saka yang belepotan saat makan.

"By, kamu udah mau tiga puluh loh, masih aja temenan sama galau."

Kirby menghela napasnya, lalu memandang Saka yang sedang mengunyah nasi dan lauk pauknya. Lima tahun lalu, Martha menikah dengan seorang kakak senior mereka yang kebetulan asli Surabaya. Saat ini, Martha sudah memiliki dua anak, Saka adalah si Bungsu, dan Diani—gadis kecil berusaha empat tahun, anak pertama Martha yang menjadi favorit Kirby. Perbandingan yang sangat jauh, antara Kirby dan Martha. Terkadang, itu menjadi senjata ampuh kanjeng ibundanya, yang hampir setiap hari diucapkan untuk mendorong Kirby segera menikah.

"Tha, inget sama Daska nggak?"

Martha berhenti menyuapi Saka, perempuan itu lalu fokus pada Kirby—mengabaikan Saka yang sedang membuka mulut, menunggunya menyuapi makanan. Daska menjadi topik yang menarik sekaligus membosankan sejak dulu.

"Kenapa tiba-tiba bahas Daska?" Martha bertanya, sekaligus menunggu jawaban.

"Salah satu muridku, namanya Raya Kim. Ternyata dia adik Daska, singkat cerita, dia punya masalah dan orang tua Daska sedang tidak di Indonesia, Daska sendiri juga sedang sibuk. Raya ini membutuhkan bimbingan dari orang yang istilahnya, sih, bisa ngemong dia gitu." Kirby memberikan penjelasan secara singkat, ia ingat ada kode etik konselor yang tidak bisa ia langgar, ini saja sudah termasuk pelanggaran kecil, tapi ya ... ia memang harus bercerita pada Martha.

"Ya, terus?" Martha bertanya dengan tidak sabaran, ia lalu kembali menyuapi Saka yang hampir menangis menunggu makanannya.

"Daska minta aku tinggal di rumahnya buat jagain Raya. Menurutmu gimana, Tha?"

"What? Are you kidding me?" Martha sedikit berteriak lebay membuat Saka berjengit dan balita itu menangis. "Cup ... cup ... Sayang, maafin Mama, ya?" Martha menggendong Saka, menenangkan anaknya agar berhenti menangis.

"Terus kamu jawab apaan?"

"Belum jawablah. Gimana, ya, Tha?"

"Duh, By ... tinggal serumah sama Daska itu bukan solusi yang baik, maksudku ... kamu tahu kan, kamu pernah ada rasa sama dia meskipun mungkin, dia bahkan nggak tahu kalau kamu hidup," ucap Martha, seperti menampar Kirby. Sial, ngena di hati sekali.

"Ya, makanya itu, Tha ... aku takut suka lagi sama dia. Bahaya, Tha, move on-nya aja sulit."

"Tapi yakin udah move on?" Martha melempar pertanyaan, setengah menggoda pada Kirby yang dibahas deheman oleh perempuan itu.

"Ya ... udah." Kirby menjawab dengan tidak yakin.

"Gini aja deh, kenapa nggak adiknya aja yang tinggal di rumah kamu? Kalau niat kamu buat nolongin adiknya, sih, By. Itu lebih baik daripada kamu yang tinggal di rumah Daska."

"Gitu, ya, Tha? Sebenarnya, aku juga kasihan sama Raya, sih. Tapi, buat tinggal di rumahnya, kayaknya emang agak berat."

"By ... By ... kamu itu bisa nggak, sih, jangan terlalu baik? Sekali-kali tegas gitu."

"Ya, ada saatnya aku tegas ada saatnya nggak. Ini soal kemanusiaan. Raya benar-benar butuh bantuan, Tha."

Martha menghela napasnya, sambil menyelesaikan suapan terakhir untuk Saka. Terkadang memang, Kirby itu terlalu baik, sulit mengatakan tidak ... ya, latihan komunikasi asertif yang selalu Kirby tekankan untuk muridnya tidak ia terapkan sendiri. Kelemahan Kirby yang dulu selalu dimanfaatkan oleh teman-teman mereka.

Repihan Rasa (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang