11. Interval Integral

14 3 0
                                    

Secara terpaksa, masyarakat Sukamawar mengakui kemenangan Fairuz. Mereka hanya bisa berharap kebaikan darinya, sambil terus melakukan keseharian sebagaimana biasa. Tidak menunggu waktu lama, dia langsung mengeluarkan peraturan wali kota yang tidak lagi memberlakukan sistem zonasi untuk sekolah, seolah memberikan kebebasan kepada para siswa yang ingin memilih sendiri.

Sementara itu, Inspektur Polisi Dua Marwan sedang diperiksa oleh Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Resor Kota Sukamawar. Dia sebelumnya dilaporkan oleh masyarakat Sukamawar yang menghadiri pemakaman Rujani atas tindakannya kepada Sina sang penggali kuburan. AKBP Zakaria ditunjuk sebagai kepala pemeriksa mengingat pengalaman beliau. Ipda Marwan pun mendapat teguran lisan juga tertulis setelah melewati gelar perkara. Mereka menganggapnya melakukan pelanggaran ringan terhadap kode etik sehingga menambah hukumannya dengan skors selama satu hari.

***

"Selamat pagi, Bu Sri," sapa Marwan. Matanya langsung mengarah kepada Putra yang bersandar pada tiang. Mereka sempat melakukan kontak mata sebelum Putra kembali menunduk sambil memeluk lututnya.

"Pagi Pak Polisi." Sri keluar dari kantornya. Mata Marwan hanya beralih sebentar karena sangat fokus kepada Putra. "Ya, seperti itulah dia setiap hari." Sri mendekat untuk berbisik. "Tapi sejak ayahnya meninggal, dia selalu pulang lebih lambat."

"Kenapa?"

"Ya ... dia sekarang tinggal di panti asuhan karena kakek-neneknya sudah meninggal dan tidak memiliki keluarga lain. Sepertinya dia tidak begitu suka."

Memandang Putra, Marwan teringat sesuatu. "Ayah!" Kali ini teriakan itu dari Marwan. Terjadi dua puluh tahun lalu dimana dia mengalami hal yang hampir persis dengan Putra. Bedanya, ibunya yang terbunuh. Pembunuhnya masih menjadi misteri sampai sekarang karena ayahnya tidak terbukti tersalah dan menikah lagi dengan wanita lain beberapa waktu setelah kejadian. Dari mereka, Marwan memiliki seorang adik tiri perempuan bernama Lestari. Usianya sekarang dua puluh tahun, delapan tahun lebih muda darinya.

Marwan langsung mengambil ponselnya untuk memanggil kemudian berjalan menjauh. "Lestari."

"Kak? Kamu baik-baik saja? Sudah lama tidak menelepon...."

"Ya, aku baik-baik saja. Bahkan hari ini aku bisa pulang, tapi tidak sendirian."

"Kamu sudah punya calon?" tanya Lestari terkejut. Marwan langsung menertawakannya.

"Kamu akan menemuinya hari ini." Marwan mematikan panggilan. "Yuk, ikut kakak. Dijamin kamu mendapatkan seseorang yang perhatian," ucapnya sambil menyeringai.

***

"Silakan pilih salah satu kartu." Dimas menyebarkan kartu di atas meja warung kopi. Erma hanya memperhatikan. Kali ini, tempat itu diramaikan oleh banyak orang.

Seorang pria yang menjadi sukarelawan memilih salah satu kartu. "Sudah yakin memilih yang itu?" Dia mengangguk. "Tunjukkan kepada orang di sekitar Anda kecuali saya dan Erma." Dimas memalingkan badan sambil melirik Erma.

Pria itu menunjukkan sebentar. "Kalau sudah, taruh kembali kartunya di tumpukan dan kocok sesuka hati." Dimas belum memalingkan badan jadi pria itu berpikir untuk tidak menaruhnya di tumpukan.

"Erma, pastikan kartunya ada di tumpukan." Pria itu terkejut

"Ah, tidak seru. Kamu sudah tahu." Dimas tertawa kecil.

"Meski sudah kuduga, tidak juga. Tanpa asisten, saya tidak akan mengetahui tapi tetap menemukannya." Pria itu agak kesal dan suaranya mengocok kartu cukup terdengar.

"Sudah."

"Sekarang, Erma. Kamu menjauh atau paling tidak memalingkan diri agar mereka tidak curiga." Erma langsung memalingkan diri sekaligus mencuci cangkir.

86 - The DramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang