12. Akhir [E1]

14 3 0
                                    

Para polisi terus menjelajah bawah tanah, sampai mereka menemukan beberapa meja kantoran dengan komputer di atasnya.

"Ini markas atau warnet?" tanya Kompol Ferdi.

"Rupanya di sini mereka mengelola semua," ucap Firdaus sambil mengangguk perlahan. "Berarti selama ini ayah disekap di sini, atau ibu bekerja di sini?" Dia hanya bergumam semua ini.

"Baiklah. Kita akan membentangkan garis polisi serta menutup dan mengunci pintu rahasia dari pohon akasia di taman itu. Tapi sebelumnya, kita harus menyita semua ini." Iptu Nara serius.

***

Firdaus terus berdiri memandang rumah itu dengan ekskavator. "Pokoknya kalian tidak boleh menyentuh apalagi menghancurkan rumah ini. Jika ayah masih hidup dan tahu hal ini, dia pasti akan memarahi kalian!" Firdaus berjalan menuju pintu dan akan membukanya.

"Itu rumah Idris bukan?" Firdaus mengurungkannya dan berpaling mendengar pertanyaan itu.

"Faisal!" panggil Iptu Nara yang mengingatnya setelah kejadian pengejaran itu. Namun Firdaus masih kebingungan karena dia belum tahu siapa dia.

"Rumah itu lebih berharga bagi Firdaus daripada yang kalian bayangkan." Para polisi yang ada di sana hanya diam. "Sekarang, karena situasi agak canggung, alangkah baiknya kalian pergi dari sini." Firdaus terus mendengarkan Faisal kemudian mendekat dengan wajah penasaran.

Faisal mengulurkan tangannya. "Namaku Muhammad Faisal. Kita sama-sama alumnus MA Sukamawar yang baru saja lulus, hanya saja aku di jurusan MIPA."

Firdaus bereaksi karena mengetahuinya. "Wajar. Aku jurusan Bahasa dan kita hampir mustahil bertemu bahkan karena beberapa hal. Kebetulan yang kamu tunggu sepertinya telah tiba."

"Tapi benar itu rumah Idris?" Firdaus mengangguk diam.

"Sebenarnya, rumahku tidak jauh dari sini tapi aku pergi ke sekolah sambil bersepeda. Aku sering melihat Idris lewat jadi mengira rumahnya juga dekat denganku.

Jadi, karena aku mendengarkan keributan barusan dan usahamu melindungi rumah ini, sudah pasti ini rumah Idris."

"Siapa Idris dan bagaimana kamu mengenal mereka?" tanya Iptu Nara penasaran.

"Muhammad Idris. Dia seakan jadi sahabat bagi Firdaus karena aku sering melihat mereka berbicara berdua di bangku taman sekolah. Aku mengenal Idris dan Firdaus di acara Masa Taaruf Siswa Madrasah." Iptu Nara mengangguk seolah mengerti pernyataan Faisal.

"Apa yang akan kamu lakukan tadi?" tanya Faisal, kembali kepada Firdaus.

"Aku hanya ingin memastikan rumah kami—Maksudku rumahnya tidak apa-apa. Mungkin membantunya membersihkan juga."

"Memangnya ke mana dia? Sudah sekitar dua tahun aku tidak melihatnya, sejak kejadian perpisahan itu." Firdaus tidak bisa menahan air matanya menetes. "Maafkan aku atas pertanyaan barusan." Faisal merangkul Firdaus.

"Omong-omong, ke mana kamu akan melanjutkan?" Faisal mengganti topik. "Kurasa kamu sangat tertarik saat para polisi melakukan sosialisasi di sekolah kita. Apakah kamu berencana masuk Akademi Kepolisian?"

"Ya," jawab Firdaus dengan suara lemah sambil mengangguk.

"Wah, kamu pasti ingin melanjutkan perjuangan ayahmu." Kompol Ferdi menepuk bahu Firdaus karena bangga.

"Ayahnya?" tanya Faisal penasaran.

"Ajun Komisaris Besar Polisi Purnawirawan Abdul Hamid." Faisal sontak terkejut mendengar jawaban Kompol Ferdi.

"Kenapa?" Faisal mulai meneteskan air matanya.

"Aku tidak sempat melakukannya.... Jadi, Firdaus," Faisal memandang Firdaus, "terima kasih."

86 - The DramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang