22. Epilog [E2]

21 4 0
                                    

"Apa yang barusan terjadi?" tanya Iptu Nara yang datang ke TKP dengan niat menjaga perbatasan sebagaimana tugas awalnya namun kali ini dengan mobilnya.

"Kami baik-baik saja," jawab Firdaus sambil memandang jasad Aiptu Kurniawan.

Idris memandang Iptu Nara lama. "Anda rupanya penjaga pos di dekat rumahku."

"Oh. Jadi ini rumahmu?" Iptu Nara melihat Idris yang baru saja berucap. "Aku penasaran bagaimana rasanya tinggal di perbatasan."

"Biasa-biasa saja," sahut Idris santai kemudian tersenyum kecil.

Iptu Nara menghela napas. "Paling tidak rasa penasaranku sudah hilang." Dia berjalan kembali menuju posnya. Ambulans tiba di waktu yang bersamaan untuk mengangkut jasad Kurniawan.

Ternyata Haris masih di sana, dia pun memandang mereka kemudian berucap, "Muhammad Idris. Ahmad Firdaus. Kalian adalah Detektif Sekolahan yang selama ini aku cari."

"Apa maksudnya?" tanya Idris pura-pura tidak tahu.

"Kamu mengingatnya." Firdaus menepuk bahu Idris.

Haris terlihat sangat bahagia. "Aku pulang sekarang ya. Rasanya sangat bersyukur setelah melihat kalian berdua masih hidup."

"Ya, hati-hati." Idris melambaikan tangannya. Dia dan Firdaus bergerak menuju rumahnya.

"Mobil siapa itu?" tanya Idris melihat sebuah mobil yang terparkir di samping rumahnya namun bukan punya Iptu Nara.

"Mobilku." Jawaban Firdaus membuat Idris agak terkejut. "Sekarang, kita tidak harus berjalan kaki, minta tumpangan, atau menaiki bus lagi untuk bepergian."

"Oh ya, di dalamnya ada papan tulis milik almarhumah ib—Tania yang dulu kamu kagum melihatnya." Firdaus membuka mobil dengan menekan tombol di kuncinya.

"Tunggu, aku harus membukakan pintu dulu." Idris pergi ke rumahnya. Dia kemudian melihat Firdaus kesusahan mengeluarkan papan tulis itu dan bersegera membantunya.

"Kamu tidak berubah, Idris." Mereka kemudian membawanya masuk ke rumah.

"Kalian perlu bantuan?" teriak Iptu Nara dari posnya karena melihat hal tersebut.

"Tidak usah, terima kasih," sahut Firdaus. Mereka berhasil membawanya masuk.

***

Iptu Kuncoro tiba di Perbatasan Kota Harapan dengan Kota Cahaya. Kombes Pol Ahmad Isa terlihat menunggu di luar mobilnya. "Bagaimana eksekusinya?" tanyanya saat Iptu Kuncoro keluar dari mobil.

"Nampaknya Anda sangat kesal dengan bedebah itu."

"Tentu saja. Dia menyalahgunakan kekuasaannya selama ini." Kombes Pol Ahmad Isa terlihat kesal. "Meski demikian, keluarganya terutama anaknya Agung tetap mendapat kompensasi atas hal ini. Namun, itu hanya untuk mencukupi mereka. Sisanya, dia mengganti rugi atas sebuah kasus di Kota Cahaya."

"SMP Pelita. Dia membayar orang untuk mencuri komputer dari sekolah itu dan menghancurkannya di rumah salah satu siswa. Dia mengaku melakukannya setelah kutekan untuk bicara dengan jujur." Kombes Pol Ahmad Isa tersenyum kecil. Mereka bersiap untuk pulang.

"Oh ya, Kuncoro." Kombes Pol Ahmad Isa teringat sesuatu. "Selamat atas kepulangan ke Polresta Sukamawar." Ucapan itu membuat Iptu Kuncoro tersenyum.

***

"Letakkan di sini?" tanya Idris memasuki ruangannya. "Ini ruanganku? Kamu sebelumnya menyebutkan buku harian. Di mana punyaku?" Dia kemudian membuka laci dan menemukannya. Tanpa menunggu waktu lama, dia mulai membacanya.

"Sejak kapan kamu ke rumah?" tanya Firdaus sambil menyapu tangannya. "Ruanganmu terlihat cukup bersih."

"Aku sebenarnya sudah boleh pulang enam tahun lalu. Aku masih ingat ada ekskavator di dekat rumahku. Dokter Ika mengantarku." Firdaus tidak percaya. "Rumahku sangat berdebu sehingga cukup susah untuk membersihkannya sendiri. Tapi Dokter Ika menyempatkan diri untuk membantu sesekali."

86 - The DramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang