8. Sewaktu Yoga Wisuda

53 9 4
                                    

Sarah menghela napas menatap bindernya yang terbuka lebar di hadapannya. Dua halaman yang dari tadi dipelototinya itu dipenuhi coretan-coretan hasil bimbingan Sarah dengan dosen pembimbingnya perihal tugas akhir. Sejak semester 5, Sarah sudah memutuskan bahwa ia ingin tugas akhirnya berhubungan dengan sastra anak. Tapi tentu saja masih banyak yang harus dipikirkan setelah itu. Sastra anaknya membahas apa? Bukunya yang dipilih apa? Metodenya bagaimana?

Awalnya, Sarah ingin menggunakan karya Roald Dahl karena buku-buku Roald Dahl adalah buku-buku pertama yang dibacanya ketika ia kecil. Sarah merasa memilih buku yang ia sukai merupakan hal yang paling signifikan karena kalau Sarah saja tidak terlalu berminat dengan bukunya, bagaimana bisa ia tahan mengerjakan berlembar-lembar analisis untuk tugas akhirnya?

Tapi kemudian ide ini ditolak oleh dosennya karena sudah ada mahasiswa lain yang menggunakan Roald Dahl dan ia sudah mengajukannya lebih dulu daripada Sarah. Meskipun subjek penelitiannya bisa saja berbeda, tapi dosennya tetap meminta Sarah untuk menggunakan karya dari pengarang yang berbeda.

Penolakan pertama itu adalah pukulan perdana bagi Sarah. Ia ingat saat hampir menangis menceritakannya pada Yoga, karena Sarah sangat ingin menggunakan karya Roald Dahl untuk tugas akhirnya. Semacam apresiasi, persembahan, kepada salah satu pengarang favoritnya yang sudah menulis buku-buku yang membuat Sarah jatuh cinta pada buku dan membaca. Waktu itu, tanggapan Yoga baik sekali padahal dia juga beberapa hari sebelumnya baru mendapat kabar kalau ia harus menambah satu semester untuk penyelesaian skripsinya.

"Ya udah, ya udah. Emang kamu bener-bener nggak kepikiran mau pake karya punya siapa lagi?" ujar Yoga lembut, mengelus kepala Sarah yang terbenam di lengannya yang terlipat di atas meja.

Sarah cemberut, meski Yoga tidak bisa melihatnya. "Ya kalo dipikirin mah pasti ada, tapi aku kan maunya Roald Dahl."

Yoga tertawa pelan mendengar Sarah yang masih belum rela sampai tidak mau memikirkan pengarang yang lain dulu saat ini. Jujur, Yoga suka Sarah yang bersikap dewasa yang kadang membuatnya lupa kalau Sarah lebih muda darinya, tapi kalau Sarah sedang merajuk begini Yoga, yah, suka juga sih. Gemas.

"Tadinya kamu mau bahas apa kalau pake bukunya Roald Dahl?" tanya Yoga lagi.

Tidak terdengar apa-apa. Yoga menundukkan kepalanya, berusaha mengintip wajah Sarah yang tertutup lengannya. "Sar?"

Kali ini hanya terdengar semacam gumaman yang tidak jelas.

"Apa? Aku nggak dengeerr."

"Nggak tau." ujar Sarah akhirnya, mengakui. Diangkatnya kepalanya. "Aku juga masih belum tau! Huhuhu. Karakternya kali? Nggak tau. Yang penting Roald Dahl."

Tersenyum, Yoga mendorong es teh Sarah ke si empunya, mengedikkan kepalanya ke arah gelas berembun tersebut.

"Dah, minum dulu biar dinginan kepalanya. Abis itu baru pikirin lagi mau pake bukunya siapa."

Sarah memelototi gelasnya, seakan salah gelas itu dosennya menolak idenya menggunakan karya Roald Dahl untuk tugas akhirnya. Dibayangkannya gelas tersebut adalah dosennya dan Sarah sedang memancarkan kekuatan dendamnya agar dosennya mengalami bad luck seharian.

Melihat Sarah yang memelototi gelasnya, Yoga tertawa lagi.

"Nggak usah dipelototin gitu kali, gelasnya. Dia kan nggak salah apa-apa."

Mendelik pada Yoga seakan pacarnya itu membela dosennya (gelasnya), Sarah meraih gelasnya dan meminum teh dingin di dalamnya dengan sekali teguk. Tiba-tiba, Yoga mencubit pipinya.

"Aw! Ngapain sih. Aku lagi bete, ya. Jangan macem-macem." Sarah pura-pura mengancam,

Yoga terkekeh. "Lucu sih, kayak bakpau. Ya kali nggak dicubit."

SewaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang